PASAR OBAT HERBAL DI TAHUN 2020
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah mencanangkan Program Indonesia Sehat tahun 2010. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah bagian dari tujuan Program Indonesia Sehat tahun 2010. Salah satunya dengan ketersediaan obat dan alat kesehatan untuk masyarakat. Akses terhadap obat, juga merupakan hak azasi manusia. Oleh karena itu, penyediaan alat kesehatan dan obat adalah kewajiban pemerintah, institusi pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta. Karena obat bukanlah semata komoditas perdagangan, tetapi juga memiliki fungsi sosial.
Dunia farmasi juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana khasiat dan cara penggunaan obat yang benar. Ini penting, agar masyarakat juga bisa mengkonsumsi obat sesuai dosis yang benar. Saat ini, pengetahuan masyarakat tentang khasiat dan bahaya obat masih minim. Akibatnya, masih sering ditemukan orang sakit malah bertambah parah setelah mengkonsumsi obat karena mereka kurang paham dalam mengkonsumsi obat yang diberikan dokter. Peran obat dimulai dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan serta pemulihan. Oleh karena itu, obat harus diusahakan agar selalu tersedia saat dibutuhkan.
Di Indonesia, salah satu jenis obat yang kini sedang naik daun adalah obat herbal. Sebagai produk dari industri farmasi, obat herbal tentunya tidak lepas dari aspek ekonomi dan teknologi. Maka, diperlukan suatu inovasi produk melalui pengembangan-pengembangan basedon researchyang dilakukan oleh industri farmasi. Kontribusi inilah yang bisa diberikan pada industri farmasi dalam mewujudkan Program Indonesia Sehat tahun 2010. Selain itu, obat herbal yang beredar harus dapat dijamin keamanan, khasiat dan mutunya agar betul-betul memberikan manfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Menjadi sebuah keniscayaan bahwa back to nature, kembali ke alam, kini menjadi semboyan masyarakat modern. Mereka merindukan segala sesuatu yang selaras, seimbang, dan menyejukkan yang diberikan alam. Hasil teknologi yang sebelumnya diagung-agungkan sebagai sebuah terobosan besar dalam peradaban manusia ternyata tidak sepenuhnya berdampak positif. Sering kali hasil teknologi canggih justru menimbulkan ekses dan dampak negatif.
Dalam industri farmasi, misalnya, obat-obatan kimia yang banyak diproduksi perusahaan farmasi dengan teknologi modern, diyakini menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Ini terkait dengan penggunaan unsur-unsur kimia yang ada di dalamnya. Karena itu, ada kecenderungan masyarakat kini beralih ke obat-obat herbal yang alami untuk menyembuhkan berbagai penyakit.Banyak yang meyakini, obat herbal tidak memberikan dampak negatif pada kesehatan karena tidak mengandung bahan kimia. Tidak heran jika kemudian pasar obat herbal mengalami lonjakan yang cukup signifikan.
Persentase pertumbuhan obat herbal dari tahun ke tahun terus meningkat dan berada di atas rata-rata pertumbuhan obat modern. Mengutip data GP Farmasi, tahun 2003, misalnya, pasar obat modern sebesar Rpi7 triliun, sedangkan obat herbal Rp2 triliun. Dua tahun kemudian, tahun 2005, pasar obat modern bertambah menjadi Rp21,3 triliun, atau naik 25%. Adapun obat herbal bertambah menjadi Rp2f9 triliun, atau naik 45%. Tahun 2009, pasar obat modern tumbuh hanya 7% dibanding tahun 2008 menjadi Rp30 triliun. Sedangkan obat herbal mampu tumbuh 20% menjadi Rp5,2 triliun. Diperkirakan pada tahun 2010, pasar obat modern mencapai Rp34,5 triliun atau tumbuh 15% dibanding tahun 2009, dan obat herbal senilai Rp7,2 triliun, tumbuh 38% dibanding tahun 2009.
Ada beberapa penyebab produk herbal terus mengalami pertumbuhan. Diyakini lebih aman, dapat dipakai untuk seluruh keluarga, sejalan dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat Gamu, ayurvedic, kampo, dan sebagainya), serta kualitasnya yang baik dan khasiatnya cukup manjur. Juga, karena harga lebih terjangkau, dan distribusi yang luas atau mudah didapat. Dari fenomena ini dapat ditarik benang merah bahwa industri farmasi Indonesia cukup berminat untuk mengembangkan obat herbal. Sebab bahan baku yang dibutuhkan sangat berlimpah, produk dan kompetensi juga tersedia. Dari sisi investasi juga tidak terlalu tinggi, hak kekayaan intelektual bisa dikembangkan, dan pasar yang sangat menjanjikan baik domestik maupun ekspor.
Di Indohesia, terdapat tiga kategori sediaan obat alami yang diterapkan pemerintah yaitu jamur, herbal terstandar (telah lolos uji preklinik), dan fitofarmaka (lotos uji klinik). Namun jika dicermati, perkembangan obat alami di Indonesia atau obat asli Indonesia belum dapat dikatakan maju dalam hal mutu, penguasaan pasar, dan industrinya. Penyebab hal itu ada dua, faktor internal (domestik) dan eksternal (pengaruh global).
Faktor internal meliputi filosofi dasar pengembangan obat asli Indonesia belum terbangun dan pola pengadaan bahan baku (agroindustri tanaman obat) yang belum berkembang sehingga potensi yang melimpah belum tergarap dengan baik. Struktur industri obat tradisional Indonesia yang belum kuat dengan kesenjangan cukup besar antara industri besar dan kecil juga menjadi salah satu faktor kendala. Sedangkan kendala eksternal meliputi pesatnya perkembangan industri herbal di berbagai negara, baik Asia maupun-Eropa, yang berakibat membanjirnya produk luar di pasar lokal dengan mutu dan kemasan yang lebih baik.
Berlakunya kesepakatan global tentang pasar bebas dunia dan berbagai bentuk harmonisasi regional untuk berbagai bidang sebenarnya merupakan suatu peluang tetapi sekaligus ancaman. Mencermati kondisi tersebut, selain upaya penyiapan strategi dan penyempurnaan regulasi dan penguatan komitmen, aspek penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan obat alami menjadi keharusan. Dalam hal ini, mutu produk menjadi salah satu kunci dalam persaingan pasar global.
Potensi pasar obat di pasar dalam negeri sangat besar mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih 230juta jiwa. Apalagi, konsumsi masyarakat Indonesia terhadap obat masih tergolong rendah. Menurut data GP Farmasi, hingga kini, konsumsi obat-obatan per kapita di Indonesia hanya USD6 - USD7 pertahun. Berbeda dengan Filipina (USD14), Malaysia (USD20), dan Singapura (USD27). Adapun, nilai pasar bisnis farmasi yang sebesar Rp30 triliun di tahun 2009 terdistribusi pada pasar obat ethical (resep) sekitar 55% dan obat bebas sebesar 45%. ( ST)