Back To Top

Monday, May 4, 2020

Manifestasi dari Goda




DALAM terminologi Islam, ada yang dinamakan jihad atau berjuang di jalan Tuhan. Jihad kecil, salah satu contoh yang fenomenal adalah ikut berjuang dalam Perang Badar. Sedang jihad besar adalah selalu berjuang menjadi baik selama menjalani kehidupan sehari-hari.

Tetapi orang cenderung terbalik-balik. Justru yang disebut jihad besar adalah ketika ikut Perang Badar. Sedang menjalani kehidupan sehari-hari hanya dinilai sebagai jihad kecil. Padahal yang namanya berjuang, baik atas nama Tuhan atau apapun, esensinya justru ketika kita mampu menjadi baik dan berguna bagi sekitarnya. Bukan sesaat, tetapi sepanjang hidup," kata Presiden Lima Gunung, Sutanto.

Terminologi Jawa mengenal ada goda atau godaan orang hidup. Yakni dengan adanya tahta, dunia, dan wanita. Tahta merupakan perwujudan dari sebuah kekuasaan. Sedang dunia lebih pas bila digambarkan pada masa sekarang sebagaiuang. Untuk wanita mengacu pada barang yang indah-indah atau mahal. "Dalam proses budaya, terutama Budaya Jawa, apa yang terjadi sekarang ini (pemilu), merupakan manifestasi dari goda atau godaan tadi. Tentunya goda yang paling kuat terkait kekuasaan," tuturnya.

Bukti adanya goda kekuasaan tersebut adalah proses dari seorang calon legislatif (caleg), baik yang jadi maupun tidak jadi, dalam memperoleh suara. Mereka akan berkampanye, pasang gambar, umbar janji, dan lainnya. "Kesannya, orang atau masyarakat dipaksa untuk tertarik dan mencoblosnya dalam pemilu," ujarnya.

Menurut pria yang akrab disapa Tanto itu, soal goda kekuasaan tadi bisa dibantah ketika seseorang muncul menjadi caleg, prosesnya betul-betul dari bawah. Mereka diajukan oleh sebuah komunitas, dibiayai masyarakat dan tentunya dipilih dengan sukarela.

"Seperti di negara maju, seorang yang duduk di parlemen, bahkan presiden dibiayai oleh rakyat. Tidak ada yang keluar biaya sendiri. Bahkan, kalau keluar biaya sendiri bisa terkena jerat hukum. Di sana, aturan seperti itu bisa diterima," ungkapnya.

Tetapi, tuturnya, di Indonesia prosesnya terbalik. Mungkin hal tersebut terkait erat dengan mentalitas. "Mentalitas tersebut dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Di tingkat paling bawah, masyarakat juga meminta agar jalan atau fasilitas umum lainya diperbaiki. Yang pegawai, mau memilih gara-gara gajinya dinaikkan. Akhirnya mentalitas yang ada hanya menyuburkan korupsi," urainya.

Dalam persoalan "banting stir", Tanto menilai lebih bagus mantan bajingan dari pada mantan kiai. "Bisa saja, seorang mantan bajingan kemudian menjadi kiai atau ustad, sebutan keren saat ini. Setelah itu jadi bajingan lagi dan ustad lagi. Yang penting pada ujungnya dia bisa menjadi baik. Baik untuk dirinya maupun orang lain," jelasnya.

Persoalan kekuasaan tadi bisa menjadi baik ketika dilakukan secara budaya. Digambarkan, seseorang yang sedang makan, pidato atau konferensi pers adalah wujud dari kekuasaan. Tetapi ketika dia mampu menunjukkan cinta kasih, menggunakan karsa dan lainnya, merupakan sebuah budaya. "Budaya disini harus dilaksanakan sebagai sebuah Rahmatan Lil Alamin. Yakni kebaikan yang bisa dirasakan semua pihak," ungkapnya.

Rahmatan lil alamin atau rahmat bagi alam semesta beserta isinya adalah sesuatu yang luar biasa. "Semua golongan suku dan area budaya, kaya-miskin, parpol-nonparpol. bodoh-pintar, tafsir-hikmah, ruang-waklu, visi-misi, de-saign-blue print, hand made-teknologi maya serta halal-haram Facebook, bahkan gempa atau global warming, tak ada yang mampu menandingi duga atau pesan maha besar yakni rahmatan lil alamin." tandasnya. Idem)