Mengenang Sesepuh Sedulur Sikep Mbah Tarno
RATUSAN warga Scdulur Sikep duri berbagai daerah, kemarin, berkumpul di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Mereka bukan hanya warga penghayat kepercayaan yang akrab disebut Wong Samin asal daerah setempat, namun juga datang dari Blora dan Kudus,
Kehadiran kelompok masyarakat yang akrab dengan pakaian serbahitam itu di kediaman sesepuh Sedulur Sikep Mbah Tamo untuk memberikan penghormatan terakhir. Orang yang dituakan dalam
komunitas adat itu meninggal dunia diusia 100 tahun, sehari sebelumnya pukul 14.00.
Kendati penuh rasa duka ditinggal tokoh mereka, tak ada tangis dalam prosesi pemakaman. Keluarga yang ditinggalkan dan kerabat dekat hanya terdiam tanpa ada yang meneteskan air mata saat jenazah Mbah Tamo diusung dan dimakamkan di samping rumah.
Tempat pemakaman bagi Sedulur Sikep ditentukan oleh para ahli waris yang ditinggalkan. Tak ada aturan khusus untuk memakamkan keluarga mereka yang meninggal dunia di tempat pemakaman.
Layaknya pemakaman orang muslim, jenazah Mbah Tarno juga dibalut dengan kain kafan. Sejumlah gelu (bola kecil dari tanah) yang digunakan sebagai simbol bantal untuk orang yang meninggal, disertakan dalam lubang makam.
Hampir tak ada prosesi adat yang berlebihan dari pemakaman tersebut. Hanya, sebelum menguruk liang lahat, sejumlah tetua Sedulur Sikep memanjatkan doa dalam bahasa Jawa.
Malam sebelumnya, saat jenazah disemayamkan, puluhan orang terutama kaum wanita mengerubuti. Mereka tampak terdiam dengan memandangi wajah Mbah Tarno dengan sesekali tertunduk. Bagian muka hingga dada jenazah tidak ditutup dengan kain jarit seperti pada tubuh bagian bawah. Di atas dada diletakkan sebuah keris kesayangan mendiang. Harus Dijaga
Sejumlah pelayat di luar Sedulur Sikep, termasuk Wakil Gubernur Jateng Dra Hj Rustriningsih MSi sempat heran ketika melihat kuburan Mbah Tarno yang berada di samping kanan rumah tak ada nisannya. Makambaru itu hanya tampak gundukan tanah tanpa taburan kembang.
Dua tongkat yang biasa digunakan untuk tumpuan berjalan Mbah Tarno turut dikubur. Makamnya berhimpitan dengan makam istrinya Sayem yang meninggal tiga tahun. Kini makam istrinya tidak terlihat lagi karena gundukan tanahnya telah diratakan.
Kepada Wagub yang saat itu takziah didampingi Bupati Pati Tasiman, putra bungsu Mbah Tamo, Icuk mengatakan, nisan atau patok tidak harus ditancap-kan di makam. Karena patok hanya sebagai penanda dari makam dan bukan sesuatu yang sakral.
"Patok ki nandakake tete-nger. Ora diwenehi patok yo ora opo-opo," ucap Icuk saat menerima Wagub dan bupati di ruang tamu kediamannya.
Rustriningsih mengaku sengaja meluangkan waktu untuk mengucapkan belasungkawa karena Mbah Tamo merupakan tokoh panutan Sedulur Sikep. Nama besar Mbah Tarno di-akuinya menjadi perhatian khusus sehingga dirinya menyempatkan untuk takziah.
"Saya belum sempat sowan dan bertemu secara langsung dengan beliau. Tapi karena nama besar beliau saya tadi dari Kebumen ke sini," ujarnya.
Rustri memandang, keberadaan masyarakat adat Sedulur Sikep harus tetap dijaga, baik dari aspek budaya, sosial maupun ekonominya. Masyarakat keturunan Samin Surosentiko ini menurutnya harus dipandang sebagai keberagaman budaya sehingga tidak perlu dibeda-bedakan.
Mendiang Mbah Tamo yang meninggalkan tujuh anak dan 25 cucu merupakan tokoh yang tidak hanya disegani di kalangan Sedulur Sikep saja. Hal itu terbukti dengan banyaknya masyarakat Kecamatan Sukolilo dan Kayen yang kebanyakan dari kalangan muslim datang untuk takziah. Mereka datang silih berganti dengan menggunakan truk i M Noor Efendi-76)