Ketika Mereka Dilayani Setulus Hati
Dalam rangka Hari Utang Tahunnya (HUT) yang ke-114, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero)) Terbuka atau BRI, menampilkan rangkaian tulisan yang mencerminkan semakin kemitraan antara nasabah dan BRI. Pada HUT kali ini, BRI menyadari banyak nasabah-nasabahnya yang mengalami keterbatasan fisik, ter-nyata mencapai prestasi yang sangat gemilang dalam bisnis mereka.
Ada juga nasabah BRI yang berjuang bersama unit kerja BRI berupaya meningkatkan ekonomi di perbatasan. Mereka tak hanya disebut sebagai debitur mikro dan menengah BRI yang baik. Lebih dari itu mereka ternyata menjadi motivator karyawan dan stake holders BRI, bahwa hidup ini jangan diratapi tetapi harus diisi dengan penuh optimisme. Dimana ada kemauan di situ ada jalan.
Haja Yuliii.n (SS) tahun ini merayakan Idul Adha dengan penuh rasa syukur dan kekhusukan. Sentuhan tangan Yang Maha Pengasih dan Penyayang benar-benar dirasakannya. Lebaran Haji November lalu betul-betul membual dia memahami benar apa arti pengorbanan dan bekerja dengan setulus hati.
Kaki kanannya yang kurang sempurna dan lumpuh membuat dia harus berjuang keras untuk membesarkan ketiga putrinya secara sendirian setelah sang suami. Haji Ali Zamar meninggal dunia. Sudah lumpuh, ditinggal suami pula. Sepeninggajan suaminya, untuk menyambung kehidupan. Yulinar memulai usaha perdagangan pakaian jadi di kaki lima. Usahanya tak kunjung berubah hingga kredit BRI datang menjemputnya. Perempuan tangguh, kelahiran Padang, Sumatera Barat ini memperoleh plafon kredit modal kerja Rp 200 juta 4 tahun silam dari BRI setempat.
Saat ini. perempuan ini memiliki rumah toko (Ruko) dengan ukuran cukup besar di dekat pasar Tanjung Morawa. Sumatera Utara. Sehari-harinya, Yulinar menjadi nasabah setia BRI dan selalu mempercayakan seluruh transaksi keuangannya kepada BRJ. " Alhamdulilah Omzet toko saya sekitar Rp 40 juta perbulan. Untuk kebutuhan modal kerja, saya mengandalkan BRI, dari plafon paling penggunaannya sampai Rpl60 juta untuk keperluan belanja dagangan." kata Yulinar. Tak jauh berbeda dengan Yulinar, tahun ini akan menjadi Hari Natal yang paling membahagiakan bagi Cornelius Simarmata (34). Makna Cinta Kasih Natal dari sang Pencipta tak akan dilupakannyj seumur hidup. Betapa
tidak, berkat Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI. penderita polio yang bermukim di desa Beringin. Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara ini boleh menikmati kelayakan hidup dari usahanya yang bergerak dalam bisnis kelontong, minyak pelumas, pupuk, dan peralatan pertanian.
Kaki kiri Cornelius tidak tumbuh secara normal sejak kecil. Dia tinggal bersama istri dan kedua orang tua, karena seluruh saudara lelakinya telah pergi merantau. "Saya mengambil kredit Rp 40 juta untuk modal usaha dari BRI. Keterbatassan fisik memaksa saya untuk tinggal di kampung, saal saudara-saudara saya yang lain pergi mencari peruntungan di tempat lain," tuturnya.
Sekarang, Cornelius masuk dalam jajaran pengusaha sukses diwilayahnya.
Haja Yulinar dan Cornelius hanya sebagian dari saudara sebangsa kita yang mengalami keterbatasan secara fisik dan sosial. Dan, sungguh beruntung mereka tidak saja mampu bertahan hidup. Lebih dari ini. mereka dapat menghidupi orang lain, yang fisiknya jauh lebih sempurna dari mereka. Keduanya mampu menggerakan perekonomian dan memberi kontribusi bagi produk domestik bruto (PDB).
10 Persen Penduduk Dunia
Pada tanggal 3 Desember 2009 lalu. Hari Penyandang Cacat Internasional (International Day of Disability) diperinganti sambil mendengarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi dunia itu menyatakan bahwa jumlah penyandang cacat dunia mencapai sekitar 10 persen dari penduduk dunia
yang perlu memperoleh perlakuan dunia yang lebih adil.
Penyandang cacat ini rata-rata tidak memperoleh akses layanan umum, didiskriminasi, minim layanan kesehatan, dan tidak punya akses ke lembaga keuangan mikro Atas dasar itu. konferensi PBB menyepakati penanganan masalah penyandang cacat dalam MDGs harus dilakukan secara inklusif, artinya tklak memisahkan penanganan pembangunan untuk para penyandang cacat dari penanganan pembangunan untuk penduduk lainnya.
Konferensi PBB itu juga menyerukan agar masyarakat internasional segera mengambil langkah-langkah penting untuk memasukkan penanganan masalah penyandang cacat dalam seluruh proses MDGs, termasuk dalam perencanaan program, eksekusi langkah-langkah yang diambil maupun dalam evaluasi keberhasilan pembangunan millenium agar pembangunan maha besar itu memasukkan penanganan masalah penyandang cacat sebagai bagian terpadu. Mereka memutuskan agar pembangunan MDGs mengembangkan peta arahan ("roadmap") untuk pedoman pembangunan penyandang cacat di seluruh dunia.
Dari dalam negeri, berbagai kasus di Indonesia memiliki kecenderungan mirip dengan rata-rata kasus dunia. Jumlah penyandang cacat di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai sekitar 23 juta jiwa (suatu jumlah yang tidak sedikit) yang belum mendapatkan perlakuan yang adil. Dari hasil data statistik (menurut BPS) menunjukkan 97,2 % penyandang cacat Indonesia berada dalam kondisi kehidupan yang masih rentan, terbelakang pada kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum.
Laporan lain dari Bank Dunia lebih mengerikan. Bank Dunia melaporkan bahwa penyandang cacat dunia ternyata merupakan sekitar 20 persen dari jumlah penduduk miskin di dunia. Dengan demikian, mengatasi masalah sosial penyandang cacat merupakan bagian besar dari upaya memerangi kemiskinan.
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan tahun menunjukan, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32.53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk. Hasil ini menunjukan penduduk miskin berkurang 2,43 juta jiwa dibandingkan dengan (hasil survei) Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau 15.42 persen (dari total populasi)," k.t.i Deputi Statistik Sosial BPS, Arizal Manaf, dikutip Antara.
Ia menambahkan, penduduk miskin didominasi penduduk perdesaan yaitu 20,62 juta jiwa atau 17,35 persen dari total penduduk di desa. Sedangkan penduduk miskin di perkotaan sebesar 11.91 juta jiwa atau 10,72 persen dari total penduduk kola.
Sementara itu, dalam survei kali ini, jumlah orang miskin tersebut diperoleh berdasarkan garis kemiskinan atau jumlah pengeluaran sebesar Rp 200.262 perorang per bulan. Artinya, orang dinilai miskin bila memiliki pendapatan setiap orangnya rata-rata sebesar Rp 200.262, per orang, bukan per keluarga.
Berubah 180%
Bagaimana kila memandang fakta-fakta di atas? BRI berpandangan, cara pandang (worldview) dunia korporasi atas penyandang cacat, orang-orang termarjinalkan secara sosial, gender.
etnisitas, keagamaan, kultural, afiliasi politik, dan ekonomi harus diubah 180% Kita harus berhenti memandang mereka sebagai beban sosial. Mereka tidak akan menjadi beban sosial, bila mereka DILAYANI DENGAN SETULUS HATI. Pada bagian lain, para penyandang cacat dan pra sejahtera lainnya tidak mau dianggap sebagai beban.
Mereka harus dianggap sebagai orang-orang yang punya hak untuk maju dan produktif. Itulah yang BRI usahakan. Bila Anda berkesempatan
berkunjung salah satu usaha yang memberdayakan penyandang cacat Tiara Handycraft, salah satu binaan BRI di Surabaya, terdapat sebuah kalimat yang merupakan isi hati para penyandang cacat itu JANGAN BERI KAMI BELAS KASIHAN. BERI KAMI KESEMPATAN.
Bagi BRI sendiri, bukan materi atau uang semata dan BRI yang mampu membuat orang-orang tersisihkan (dari gelanggan kehidupan) itu dapat menemukan makna kehidupan dan meningkatkan produktifitas. Lebih dari itu, sentuhan non materil KETULUS- AN HATI dari karyawan-karyawan BRI dimana pun mereka melayani masyarakat itulah yang membuat orang-orang semacam Haja Yulinar dan Cornelius serta penyandang cacat di Tiara optimistis bahwa masih ada cahaya dan terang dalam kehidupan ini.
Mari kita tidak memandang sebelah mata para penyandang cacat. Tidak sedikit nama-nama besar dalam sejarah yang justru berasal dari para penyandang cacat dan dianggap oleh dunia bisnis sebagai beban atau notabilities. Bukankah listrik yang kini kita nikmati dan mengaktifkan peralatan-peralatan elektronik justru diciptakan seorang tuna rungu yang bernama Thomas Alfa Edison? Coba lihat daftar penyandang cacat ini Deng Xiaoping (Pemimpin Besar China), Cruz Chov, Syeh Achmad Yasin (Pemimpin Palestina), Stephen Hawkins (Fisikawan Besar), Thaha Husein, Helen Keller, Louis Braille, dan Steve Wonder.
Mereka sebagian dari tokoh dunia yang (ak merasa terhalang untuk memberi koniribusi bagi sesama manusia, meski secara faktual
menyandang predikat disabled. Mereka tidak hanya berkontribusi bagi kehidupan. Lebih dari itu, mereka adalah pahlawan-pahlawan di mana mereka berada. Mereka memutarbalikkan dunia secara luar biasa agar kehidupan menjadi lebih baik. BRI telah membuktikan diri sebagai lembaga keuangan nasional paling produktif di Tanah Air. Apa sebenarnya kunci sukses ini? Dalam dunia bisnis pada umumnya, membangun pasar dari masyarakat yang memiliki potensi ekonomi besar selalu
menjadi indikator utama. Indikasinya terlalu mudah apakah masyarakat setempat memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, daya beli yang mumpuni, jumlah penduduk banyak, geliat komunitas bisnis, dan lain sebagainya. Istilahnya tcmpal-tempal "basah" selalu menjadi rebutan. Memang BRI juga berada di sana. BRI sebagai mesin bisnis selalu melaju dengan cepat untuk menangkap peluang-peluang dimana pun itu berada. Setiap bulan BRI bisa membangun 400 kantor baru Suatu bilangan yang ndak sedikit. Namun jangan kira BRI hanya mengikuti kaidah-kaidah bisnis umum itu. Kalau semua sudah demikian, orang cacat fisik/mental dan kaum miskin selama-lamanya akan mengalami marjinalisasi sosial sebab tidak aka nada pihak-pihak yang memperhatikan mereka.
Mereka akan tetap "digudangkan" di panti-panti asuhan, panti jompo, rumah sakit khusus, dan tempat-tempat yang sering dianggap sebagai beban masyarakat (social liabilities). Mereka dianggap juga sebagai aset yang tidak saja sekedar tidak potensial, melainkan juga berpotensi memiskinkan dan merugikan masyarakat, apalagi lembaga bisnis.
Memang BRI bukan lembaga yang bisa membantu sepenuhnya masyarakat miskin atau tidak beruntung. Namun bukan rahasia umum lagi kalau BRI justru dibesarkan dari desa dan orang desa. Mereka dianggap rata-rata masih miskin, memiliki banyak penyandang cacat, dan terkebclakang sosial oleh masyarakat perkotaan.
Di masyarakat semacam ini BRI telah melakukan investasi sosial. Program Bina Lingkungan BRI (BRI Peduli) yang telah dilaksanakan secara keseluruhan antara lain meliputi bantuan korban bencana alam, bantuan peningkatan kesehatan, bantuan pendidikan, bantuan prasarana/sarana umum, bantuan sarana ibadah dan bantuan pelestarian alam
Hanya untuk penderita cacat saja, pada tahun 2009 BRI telah memberikan bantuan berupa Peralatan Medik bagi YPAC Malang. Bantuan 30 Al Quran Braille bagi penyandang cacat netra di Jawa Timur.
Bantuan 100 kaki palsu kepada penyandang cacat bekerjasama dengan Program Seribu Kaki Palsu Yayasan Kick Andy. Bantuan mesin bordir serta pendidikan menjahit kepada 20 orang penyandang cacat raga di Yayasan Sanggar Penderita Cacat Indonesia (YSPCI)-Bukti Duri Jakarta. Bantuan pelatihan peningkatan komputer desain grafis bersama Yayasan Penyebar Semangat Indonesia bagi penyandang cacat tuna rungu dan tuna daksa bertempat di SLB Negeri Lebak Bulus dengan jumlah peserta 36 orang.
Sedangkan realisasi penyaluran Program Bina Lingkungan sampai dengan triwulan III-2009 Bantuan bencana alam Rp 0,6 miliar Bantuan Sarana ibadah Rp 2,8 miliar Bantuan pendidikan Rp 13,9 miliar Bantuan sarana kesehatan Rp 4.6 miliar
Bantuan sarana umum Rp 4.6 miliar Bantuan pelestarian alam Rp 0.5 miliar
Bantuan di atas belum termasuk kelompok-kelompok masyarakat miskin, penyandang cacat yang memperoleh pinjaman memulai usaha melalui Kredit Usaha Rakyat KUR. Kupedes, dan kredit komersial mikro lainnya.
Salah satu nasabah BRI yang memberdayakan penyandang cacat adalah Tiara Handycraft Tiara Handycraft sudah terkenal sampai ke Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meski hanya be-ada rumah bersahaja di Jl. Jagir Sidosermo, Surabaya. Jawa Timur. Tiara dirintis oleh Ibu Tilik Winarti, perempuan setengah baya, dengan motto JANGAN BERI KAMI BELAS KASIHAN TETAPI KESEMPATAN. Ibu Tilik mengubah kehidupan 35 karyawan. "90% inereka penyandang cacat," kala Titik.
Sayangnya, selama ini Titik dan awaknya suka berpindah-pindah. Soalnya, rumah yang ditinggali masih dikontrak. Beruntung, Titik didatangai petugas PT Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dari sinilah Tiara Handycraf! berkenalan dengan BRI. Perkenalan itu membuahkan nikmat bagi Tiara Handycraft. Sebuah rumah di Jl. Jagir Sidosermo, Surabaya sekaligus sebagai tempat tinggal dan "pabrik" resmi dibeli berkat kredit UKM dari BRI "Kami dapat pinjaman Rp 250 juta dari BRI. Sekarang alamat kami sudah tetap. Tidak pindah-pindah lagi." kata Tilik berkaca-kaca. Segenap keuntungan usaha saat iai dikonsentrasikan untuk membeli hanan baku dan kesejahtraan karyawan. Per bulan karyawan Titik dapat mengantongi bersihnya Rp 900 ribu. Ada lagi kisah Purwanto, yang kehilangan kedua kakinya. Sejak KUR bergulir di Jawa Barat, pada Maret 2008. bisnis Puwanto benar-benar berubah. Purwanto disentuh KUR senilai Rp 5 juta dengan cicilan Rp 264.700 per bulan selama dua (ahun. Uang KUR itu dipakai untuk menambah modal usaha hingga dalam waktu singkat asetnya terus berlipat-lipat dan menjadi juragan oli bekas paling disegani di wilayahnya. Haja Yulinar. Cornelius. Tiara, dan Purwanto hanya sebagian kecil dari masih banyak lagi yang mengalami keterbelakangan fisik dan sosial yang memperoleh pendanaan dari BRI Setelah mendapat pendanaan dan pembinaan dengan SETULUS HATI, (erayata mereka-mereka itu mampu berubah menjadi nasabah-nasabah potensial dan berhasil mengubah kehidupannya. Tidak sedikit dari nasabah-nasabah yang dianggap tidak bankable itu tengah bersiap-siap beralih ke kredit komersil.(Art-SP)