Melihat Pernikahan Warga Penganut Kepercayaan
Gunakan Bahasa Jawa Murni, Wajib Menghadap Timur
WAJAH-wajah yang ada di pestapernikahan di Tegalkamulyannampak sumringah. Kebahagiaanjelas terpancar, melampauikebahagiaan masyarakatkebanyakan yang hendak membinarumah tangga.
R PRAMU SUDIBYO, Cilacap
PENGHAYAT aliran kepercayaan di ln-, donesia sudah ada sejak puluhan tahun silam. Namun selama itu. kesulitan selalu muncul saat berhadapan dengan masalah legalitas. Karena di mata negara, keberadaan aliran kepercayaan tidak diakui. Termasuk ketika akan membina rumah tangga.
Baru sekitar tiga tahun ini, penghayat aliran kepercayaan merasakan angin segar. Eksistensi mereka diakui oleh negara, melalui disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2007 tentang aliran kepercayaan.
Sejak menyatakan diri menjadi penghayat
aliran Persatuan Sapta Darma (Persada) pada 1950-an. mereka seolah kehilangan hak-hak sebagai warga-negara. Termasuk dalamperkawinan.
"Warga kami yang menikah tidak diakui secara hukum. Jadi kami hanya menikahsceara, adat, tidak pernah bisa diresmikan di Kantor Catatan Sipil," kenang Ketua Persatuan Persada Pusat Tarmudji Djo-harijanto, didampingi Ketua Persada Cilacap Haryati.
Namun kini kegembiraan mereka terlihat lengkap. Pasalnya, UU tentang aliran kepercayaan telah menempatkan status mereka sama dengan penganut agama yang telah diakui negara terlebih dulu. Tidak heran, saat ada pasangan yang menikah, warga penghayat Persada menggelarnya dengan bahagia.
Meski pesta cukup sederhana, namun ratusan warga penghayat yang hadir di pernikahan Jasmin asal Pati dan Hartuti Ningsih asal Cilacap, tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Maklum, inilah kali pertama kelompok penghayat ini bisa menggelar pesta pernikahan dan diakui keabsahannya oleh negara.
Bertempat di Sanggar Candibusono Tegal-kamulyan, mereka menggelar "akad nikah" secara adat kepercayaan mereka. Minggu (21/ 6) kemarin. Acara ini tidak dihadiri petugas dari Kantor Catatan Sipil.
"Mereka akan mendaftarkan-nya ke Catatan Sipil besok," ujar Haryati kepada Radarmas.
Menariknya, seluruh prosesi "akad nikah" tersebut diselenggarakan dalam bahasa Jawa murni dengan dipimpin seorang pemuka penghayat. Mengenakan busana nasional, mereka duduk di atas kain mori putih berukuran dua meter dan menghadap ke arah timur.
"Semua peribadatan, termasuk perkawinan dalam kepercayaan kami ini harus menghadap ke timur atau wetan dalam bahasa Jawa. Wetan diartikan sebagai kawitan atau permulaan," terang Haryati.
Mori putih, lanjutnya, juga punya makna khusus sebagai perlambang persatuan pengantin bam. Jika ada masalah dalam keluarga, mereka berdua bisa menggunakan mori tersebut untuk sembahyang agar keutuhan rumah tangga mereka terjaga.
Terlaksananya perkawinan antara Jasmin dan Hartini Ningsih secara terbuka dan bebas disambut gembiraian lega oleh para kolega sesama penghayat Persada. Ini tampak dari kehadiran banyak penghayat Persada dari luar kota.
Memang, penghayat Persada yang meyakini adanya wahyu yang pertama kali diterima Sri Gutoma pada 27 Desember 1952 tersebut tersebar di 30 provinsi di Indonesia. Bahkan di Jawa Tengah, penghayat Persada adadi semua kabupaten, termasuk Cilacap.
Harapan mereka, kebebasan memeluk kepercayaan ini juga diikuti juga dalam masalah-masalah keadministrasian, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka ingin bisa mendapat perlakuan yang sama. Dan dalam kolom agama di KTP akan bisa dicantumkan sebagai penghayat. (*)