Back To Top

Tuesday, November 19, 2019

Menapak Ranah Pengabdian dari Lampung Timur

Ranah lampung

TIDAK seperti orang kebanyakan. Sugiyanto melewati masa kecil dengan gelimang kepedihan. Dibesarkan dalam keluarga petani, ia sudah terbiasa dengan suasana prihatin. Kendati veteran, ayahnya tidak pernah mengurus administrasi untuk mendapat tunjangan pensiun dari pemerintah.

Sugiyanto kecil diboyong orangtua-nya dari Banyuwangi, Jawa Timur, ke Lampung tahun 1973. Daerah yang dituju adalah Desa Gunung Mekar, Kecamatan Jabung, Lampung Timur.

Di tempat baru ini, keluarga Sugiyanto hanya menumpang di rumah orang lain. Lahan garapannya juga milik orang lain. Untuk membantu menopang ekonomi keluarga, usai sekolah Sugiyanto membantu ibunya menjualkan rempah-rempah ke Pasar Tani Semarang Baru. Jarak rumah ke pasar sejauh 30 km ditempuhnya dengan berjalan kaki.

Kehidupan pada masa itu sangat memprihatinkan. Jika musim paceklik tiba, masyarakat sekitar bertahan hidup dengan makanan seadanya. Gaplek, oyek, nasi jagung, atau nasi dicapur insan singkong rebus menjadi menu sehari-hari. Hingga kini, ia pun tetap dapat merasakan denyut kehidupan beserta masalah-masalah krusial yang dihadapi petani. "Waktu itu, kami tidak sempat berpikir lauk pauk. Bisa makan sekadar untuk mengganjal perut saja sudah sangat bersyukur," ujarnya.

Selepas SD, ia mendaftar ke SMP Negeri 1 Jabung, namun tidak lolos ujianmasuk. Praktis dalam kurun setahun Sugiyanto tidak bersekolah karena untuk melanjutkan ke SMP swasta orangtuanya tidak punya cukup biaya. Setahun berikutnya, barulah ia diterima masuk di SMP yang dicita-citakannya. Jarak antara rumah dan sekolah sejauh 15 km juga dilaluinya dengan berjalan kaki. "Saya sering nggandul mobil atau menumpang gerobak," kenangnya.

Sejak kecil Sugiyanto senang bergaul dengan orang yang lebih tua dengan harapan untuk mendapat petuah-petuah dan agar diarahkan. Demi mendapat petuah itu pula, ia berbaur dengan guru-guru SD yang tinggal di depan rumahnya. "Saya memasakkan sayur dan nasi. Selain bisa ikut makan, saya juga mendapat nasihat dari guru-guru itu," ujar Sugiyanto.

Saat menginjak kelas 3 SMP, ia mulai berpikir bagaimana caranya melanjutkan sekolah sementara keluarganya dibalut kemiskinan. Mulai saat itulah ia menabung Rp100 setiap hari. Tabungannya hanya kaleng dan ditanam di bawah tempat tidur. Uang yang di-tabungnya itu diperoleh dari pemberian ibu dan kakak perempuannya yang berdagang kecil-kecilan. Sampai akhir ujian SMP terkumpul Rp60 ribu.

Dengan bekal tak seberapa itulah, Sugiyanto membulatkan tekad merantau ke Bandar Lampung untuk melanjutkan sekolah. Sebelum berangkat ia meminta doa restu kepada ayahnya. "Bapak merestui kamu berangkat ke kota. Kita memang orang tidak punya, tetapi kamutetap harus bersekolah," kata Sugiyanto mengenang pesan ayahnya.

Di Bandar Lampung, sekolah pertama yang ditujunya adalah SPGN I, sesuai dengan nasihat guru-guru yang tinggal di depan rumahnya. Tak jauh berbeda dengan masa SD dan SMP, kehidupan Sugiyanto di SPG juga memprihatinkan. Kiriman uang dari orangtuanya sering terlambat. Dengan berbagai cara Sugiyanto memutar akal untuk bertahan hidup. Antara lain dengan merawat rumah dan mengurusi pekerjaan rumah tangga pemilik rumah indekos. Dari situlah, si empunya rumah merasa iba dan saat pulang sekolah sudah tersedia makan siang untuk Sugiyanto. "Saya juga sering dina-sihati dan diarahkan," ujarnya.

Jalan hidup Sugiyanto mulai berubah sejak ia aktif masuk organisasi. Yang pertama diikutunya adalah Palang Merah Remaja (PMR) Bandar Lampung. "Basis organisasi saya di PMR. Di sini saya banyak mendapat ilmu, teman, aktivitas, dan kadang-kadang ada juga pemasukan sekadarnya," tuturnya.

Setelah lulus SPG, Sugiyanto mulai menjalani hidup lebih baik, terlebih setelah diterima sebagai guru di SD Kartika Il-Persit, Bandar Lampung pada tahun 1990. Enam belas tahun kemudian, putra Lampung Timur itu dipercaya Yayasan Kartika untuk memimpin sekolah tersebut. Sugiyanto, putra dari Lampung Timur itu kini berancang-ancang menapaki ranah pengabdian baru di bidang sosial, politik, dan kemasyarakatan.