Back To Top

Saturday, November 16, 2019

Berobat di Dalam Negeri, Mengapa Tidak?


berobat ke luar negeri saat ini bukan sesuatu hal yang wah bagi sebagian orang. Kini, semakin banyak orang yang bisa mengakses pengobatan di luar negeri. Misalnya, penduduk yang tinggal di Sumatra Utara dan Aceh berobat ke Singapura dan Malaysia dibanding berobat ke Jakarta. Saat SP mengunjungi sejumlah rumah sakit (RS) milik pemerintah dan swasta di Singapura, Mount Elizabeth Hospital disebut-sebut sebagai RS orang Indonesia, April lalu. Ini karena cukup banyak orang Indonesia yang berobat ke RS tersebut.

Berdasarkan data yang dipublikasi International Medical Travel Journal tahun 2008, jumlah orang Indonesia yang berobat ke Singapura tahun 2007 sebanyak 226.200 orang. Sementara itu, ke Malaysia 70.414 (tahun 2006), 221.538 (tahun 2007), dan 288.000 (tahun 2008). Masih berdasarkan jumal itu, kedua negara, Malaysia dan Singapura adalah negara yang paling sering dikunjungi orang Indonesia untuk berobat. Jika meliihat data ini, maka hanya sekitar 500.000 orang Indonesia yang berobat ke luar negeri.

Dari survei yang dilakukan terhadap pasien yang berobat ke kedua negara itu, diketahui beberapa faktor yang membuat seseorang berobat ke luar negeri. Setidaknya ada lima hal, yaitu pelayanan kesehatan di Indonesia kurang baik, tarif atau biaya pelayanan yang dikeluarkan memang lebih tinggi dibanding di dalam negeri, tetapi sebanding dengan pelayanan yang diterima. Faktor lain adalah pengelola RS di Indonesia belum mengedepankan pasien sebagai konsumen (pelayanan terhadap pasien kurang, khususnya dalam hal komunikasi), waktu tunggu lama, dan dokter di Indonesia kurang memberi waktu yang cukup untuk konsultasi atau dokter di Indonesia selalu terburu-buru dalam menghadapi pasien.

Ingin mengetahui layanan kesehatan RS di Singapura, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) Profesor Amal C Sjaaf, yang pernah mencoba pelayanan pengobatan di National University Hospital (NUH) di Singapura. RS ini merupakan RS pendidikan milik pemerintah yang kalau di Indonesia adalah RSCM. Amal menuturkan, di RS tersebut ia menjalani pemeriksaan jantung. Uniknya, beberapa pemeriksaan seperti EKG (echo car-diografi) dilakukan perawat bukan dokter. Namun, pemeriksaan tekanan darah dilakukan oleh dokter. Di Indonesia sebaliknya, pemeriksaan semacam itu dilakukan oleh dokter."Dokter juga menjawab semua pertanyaan saya. Mereka memiliki waktu yang cukup untuk pasien, dan dokter bertugas menegakkan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan perawat. Di Indonesia, saking hebatnya seorang dokter sampai tidak sempat memeriksa pasien, tetapi bisa menegakkan diagnosis," kata Amal.

Dokter yang tidak meluangkan waktu cukup untuk konsultasi bagi pasien, menurut Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dr Sutoto, disebabkan jasa medik dokter di Indonesia rendah, sehingga dokter harus memiliki banyak pasien agar memiliki penghasilan yang besar. Di samping itu, jumlah dokter yang terbatas membuat dokter tidak bisa mengalokasikan waktu yang cukup untuk konsultasi. Ia menyebut, jumlah dokter yang aktif berpraktik di Indonesia kurang lebih 100.000, sementara jumlah penduduk Indonesia ada 220 juta. Ia mengingatkan, seorang dokter yang memiliki banyak pasien (lebih dari 20 orang) berpotensi lebih besar melakukan kesalahan dibanding dokter yang membatasi jumlah pasien, karena kelelahan. Oleh karena itu, tidak tepat jika masyarakat menjadikan banyak sedikitnya pasien sebagai acuan memilih dokter.

Lebih Baik

Idealnya, seorang dokter mengalokasikan waktu konsultasi sekitar 10 hingga 15 menit untuk setiap pasien. Sutoto juga menegaskan, tidak semua RS di Indonesia buruk pelayanannya. Pula sebaliknya, tidak semua RS di luar negeri baik. Dari segi keterampilan, menurutnya, dokter Indonesia lebih baik dibanding dokter asing karena lebih berpengalaman. Mengingat jumlah pasien di Tanah Air lebih banyak. Untuk peralatan medis atau teknologi alat kesehatan, Indonesia tidak tertinggal. Hal yang sama juga dikatakan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan dr Farid W Husain.

Ia menilai, satu hal yang menjadi masalah besar di bidang pelayanan kesehatan di indonesia adalah sumber daya manusia (SDM), karena tidak gampang untuk mengubah sikap seorang dokter atau perawat yang kurang ramah, ketus, ataupun dokter yang cenderung pendiam saat menghadapi pasien. Di sisi lain, pasien memiliki banyak pertanyaan tentang penyakitnya yang ingin diketahui, karena pasien awam terhadap penyakit. Kerap, gugatan atau sengketa antara dokter dan pasien disebabkan komunikasi yang buruk." Yang paling sulit diubah adalah SDM, kalau alat dan gedung tidak menjadi masalah. Dokter sukar diatur, ada yang tidak periksa pasien, langsung kasih resep," ujarnya. Komunikasi antara dokter/pera-wat dan pasien serta keluarga pasien menjadi masalah. Oleh karena itu, sejak tahun 2000, komunikasi menjadi kurikulum Fakultas Kedokteran. Bisa dipahami, jika saat ini dokter di Indonesia masih kurang dalam berkomunikasi. Sutoto berkali-kali menegaskan, tidak semua RS di luar negeri bagus dan tidak semua RS di Indonesia jelek. Ada beberapa RS di Tanah Air yang sudah mendapat international organization for standarization (ISO). Namun, ISO tidak spesifik untuk pelayanan RS.

IDI AWARD

Tren berobat ke luar negeri membuat Direktur Utama PT Sido Muncul Irwan Hidayat memberi penghargaan IDI Award kepada masyarakat yang setia berobat di dalam negeri, khususnya masyarakat yang cukup mampu dari sisi finansial, namun memilih berobat di dalam negeri. Para penerima penghargaan ini masih dalam proses bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Diharapkan tahun 2010, penghargaan ini bisa diserahkan kepada yang dianggap pantas menerimanya. Menurut informasi yang dihimpun SP, ada beberapa nomine penerima IDI Award, seperti pengusaha Bob Hasan, mantan Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, pengusaha jamu Moeryati Sudibyo.

Bagi Irwan, tidak mudah menyeleksi nomine IDI Award, karena dokter di Indonesia pun ada yang berobat ke luar negeri. Jadi, tidak hanya pengusaha, pejabat, ata orang yang mampu secara finansial. Orang yang pantas menerima IDI Award, katanya, adalah mantan Presiden Indonesia Soeharto. Tetapi, Soeharto telah wafat. Tetapi, menurutnya, Bob Hasan juga pantas diberi penghargaan karena berobat di Tanah Air, seperti menjalani peme-
riksaan kesehatan. Bob juga menjalani operasi mata, henna, dan jantung di RS Mitra Internasional Kampung Melayu Jakarta Timur. Irwan menuturkan, jika dirinya dianugerahi IDI Award, ia akan mikir karena tidak bisa memastikan ke depan akan selalu berobat di Tanah Air jika terjadi sesuatu pada dirinya. Sekalipun selama ini ia cenderung berobat di Tanah Air. Berdasarkan pengalamannya menemani ibunya berobat ke luar negeri, tepatnya ke AS karena menderita tumor otak, kelebihan dokter di luar negeri adalah dalam hal komunikasi dan mampu memberi sugesti pada pasien, selain, penanganan yang terpadu oleh beberapa dokter. Hal semacam ini juga sudah diterapkan sejumlah RS di Indonesia, berupa penanganan terpadu untuk suatu pasien, seperti penanganan pasien diabetes mellitus (DM) dan pasien kanker.

Soal Salah Diagnosis

Soal salah diagnosis, menurutnya tidak hanya terjadi di dalam negeri. Di luar negeri pun hal ini bisa terjadi. Bila alat kesehatan, teknologi, dan keterampilan dokter di Indonesia tidak tertinggal dengan dokter dan RS di luar negeri, maka selatan komunikasi yang harus dibenahi para dokter dan perawat, hal lain yang juga perlu diperbaiki oleh Departemen Kesehatan adalah penetapan standar pelayanan klinis (termasuk kedokteran gigi) seperti yang diatur dalam UU tentang Praktik Kedokteran pada tahun 2004. Sejak diundangkan, hingga kini belum ada peraturan menteri kesehatan (per-menkes) yang mengatur panduan klinis. Oleh karena itu. Amal yang bertugas di Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan FKMUI ini menilai belum ada standar terapi untuk penyakit di Indonesia. Walaupun saat ini sejumlah organisasi profesi kedokteran telah menyusun panduan terapi untuk sejumlah penyakit, panduan itu semestinya diatur dengan permenkes.

Ia juga menegaskan, pemerintah tidak perlu repot-repot mengurus warga Indonesia yang berobat ke luar negeri, karena hal itu merupakan pilihan. Selain itu, jumlah mereka yang berobat ke luar negeri pun diperkirakan sekitar 3 persen dari penduduk Indonesia. Justru, seharusnya pemerintah memperbaiki pelayanan kesehatan di dalam negeri, karena lebih banyak penduduk Indonesia yang berobat di dalam negeri.

Merupakan hal ironi bila pemerintah sibuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia yang berobat ke luar negeri dengan cara membangun RS pemerintah bertaraf internasional. Seperti RSCM yang sedang membangun international wing. Padahal, sesuai dengan UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik, RS merupakan layanan publik yang tugas utamanya adalah melayani warga negara. Semestinya, pemerintah berperan meningkatkan kualitas pelayanan di RS, seperti tidak ada diskriminasi tindakan medis terhadap pasien di kelas 1, kelas 2, kelas 3. Tarif dokter pun tidak bisa dibedakan berdasarkan kelas, karena standar klinis sama, yang berbeda hanya fasilitas.

Di samping peningkatan pelayanan, pembuatan standar klinis, pemerintah juga harus mencari solusi kekurangan tenaga dokter di Indonesia. Banyak RS di daerah yang belum memenuhi standar kebutuhan tenaga medis, misalnya RS kelas tiga harus memiliki empat spesialis dasar, yaitu dokter spesialis kebi- I.it ian dan kandungan, dokter spesialis anak, dokter spesialis bedah, serta dokter spesialis penyakit dalam. Pada tahun 2006, katanya, 75 % RS di daerah yang memiliki tiga dari empat spesialis dajar itu. Artinya, hanya 15% yang memiliki keempat dokter spesialis tersebut. Dengan segala kekurangan RS di Indonesia, Irwan menyebut saat ini beberapa RS di Indonesia bagus, khususnya RS yang "berkelas" dan mahal. Jadi, katanya, berobat di Tanah Air pun pantas dilakukan. [SP/Nancy Nainggolan]