15 Hari Bulan OLEH HASAN AL BANNA
Di usia yang sudah condong ke barat-begitu Uwak Bandi menggelar masa tuanya-tak ada lagi angan-angan untuk kaya. Menunaikan rukun Islam kelima adalah mutiara keinginannya sebelum ruhnya diraut maut. Uwak Bandi mengerti, seperti kata kebanyakan orang, kaya itu titi utama menuju Tanah Suci. Namun, ia masih percaya, hasratnya akan terkabul dengan niat yang terus mengepul. Tentu ia sadar, niat tersebut harus ditopang kerja keras dan doa. Soal biaya? Ah, bukankah rezeki seumpama teka-teki, sulit-sulit mudah untuk diselidiki?
Banyak orang yang dinilai tak berharta, tapi lulus pergi haji. OwA Bandi ingin masuk dalam golongan tersebut. Tak kaya, tak mengapa. Tapi, pantang baginya memiskinkan cita-cita. Asal jangan cita-cita yang disusupi cela, titah hatinya. Jangan pula sampai terjangkit penyakit nya berlomba naik haji biar diseru kara raya! Andai boleh memilih, ia rela dituding miskin sebelum maupun sepulang dari Mekkah.
Memang. Uwak Bandi kerap mengumpamakan impiannya mencium tebing Kabah semacam orang awam hendak menggapai bulan. Namun, ia bukan orang yang mudah memberangus harapan. Terlebih dalam doa. Maka, setiap menyaksikan tanak bulan purnama, Uwak Bandi senantiasa berdoa "Ya Allah, perkenankan aku mencium bulan." Mmh, bulan dalam doa tersebut bermakna Kabah baginya. Uwak Bandi juga sering menyemai doa tatkala memenuhi undangan menyenan-dungkan marhaban di berbagai acara tepung tawar haji. Ia dikenal ahli marhaban, ahli doa. Kian kukuhlah niatnya setiap diminta mendoakan kemabruran ibadah para sejawatayj
Bandi tak terhadanglTto-rongan Haji Sazali, sahabatnya, pensiunan pegawai Bea dan Cukai pun makin memanjangkan galah tekad Uwak Bandi. Pula Haji Sazali yang hendak menunaikan ibadah haji untuk kali ketiga mengajaknya pergi bersama. Jujur, percakapan keduanya, terkait apa pun, pada hilirnya menyinggung kisah Haji Sazali sewaktu di Mekkah. Berbunga-bunga hati Uwak Bandi mendengarnya.
"Mana tahu rezekimu melimpah setelah mendaftar, Bandi," nasihat Haji Sazali suatu kali. "Pokoknya daftar dula Kasih tanda jadi Tinggal cikini. Insya Allah ada jalan untuk niat mu-liamu itu." Maka, seusai menyimpulkan saran Haji Sazali niat tak akan lunas kalau terus-terusan menunggu ongkos haji cukup, Uwak Bandi pun menegakkan tiang keyakinan.
Apalagi, tegumya ke dada sendiri. Sisa pesangon-sekitar enam juta-sclepas bekerja hampir 30 tahun di Socfindo (perusahaan penyulingan minyak sawit) me-madailah untuk memulai rencananya. Bismillah, ia pun mendaftarkan diri sekaligus menyetor uang muka ke bank, menyusul Haji Sazali yang sudah lebih dulu. Nah, tercatat sebagai calon jemaah haji dalam daftar tunggu. Uwak Bandi tinggal memasok cicilan sekerap mungkin.
Atau siapa tahu, tunggakan biaya haji bisa ditunjukan sekaligus. Hingga ia tak perlu berlama-lama terjebak dalam daftar tunggu. Dengan perhitungan matang, Uwak Bandi mcmanjar ongkos haji sejumlah satu juta Selebihnya, ya. diputarkan untuk usaha lain. Mmh, andai saja
Ah, Uwak Bandi terus berjuang untuk tak terjerembab ke lumpur penyesalan. Seperti halnya Dariah, sang istri, yang sering mcngungkit-ungkit kelunakan hati Uwak Bandi meminjamkan sebagian besar pesangon kepada kedua anaknya. Memang, setelah membeli sampan usang dan memodali Dariah membuka kedai lontong. ketajaman pisau sebab akibat terus menyayat daging tabungannya.
Bayangkan, ia harus menanggung biaya operasi caesar putri sulungnya. Maemunah, sewaktu melahirkan anak ketiga. Ia maklum, suami Maemunah hanya pekerja kasar di pabrik pengalengan ikan. Ha. laki pula Ruslan, adik lelaki Maemunah, butuh uang demi menebus keteledorannya saat bekerja. Ruslan satpam di perusahaan pengolahan besi baja dan sedang mendapat giliran jaga ketika gudang perusahaan ditelikung maling. Sialnya, uang tebusan dibalas dengan surat pemecatan.
Sejatinya, Maemunah dan Ruslan tetap menganggap bantuan ayah mereka sebagai utang yang mesti dilunasi Namun. Uwak Bandi tak pernah sampai hati menagihnya Apalagi kepada Ruslan, yang akhirnya harus membiayai anak-istri dari mo-cok-mocok-bekerja serabutan. Bahkan, meski tak sepenuhnya disetujui Dariah, ia ikhlas (tepatnya mencoba ikhlas).
Memang, kalau dipikir-pikir, pesangon Uwak Bandi tempo hari hampir mencapai separuh ongkos haji Ancang-ancangnya pun memang untuk ongkos haji. Tetapi, ya. bukankah rezeki kerap berlindung di sarang misteri? Tak tahu kapan hinggap, kapan terbang. Untuk soal itu, ia terkesan jarang mengeluh. Meski perjuangannya menghidupi keluarga tak ringan, ia tetap merasa liuk nasibnya tak securam orang Iain. Tinggal di kota pelabuhan bukan jaminan untuk hidup layak. Seperti warga lainnya. Uwak Bandi hanya bisa menyambut uluran laut, juga belas kasihan dcru pabrik.
Ia sendiri sejak usia belasan tahun sudah pergi melaut Teramat tekun ia menjadi nelayan. Riwayat garam tersimpan di tubuhnya. Setelah me-nikahi Dariah. ia menyambi kerja sebagai buruh bongkar muat pelabuhan.
l-.nt.i-. ketika Maemunah berusia dua tahun. Uwak Bandi merasa bemnring bisa bekerja di Socfindo meski hanya mandor gudang. Inilah pekerjaan yang berjasa membesarkan kedua anaknya. Di kota pelabuhan itu, tak banyak orangtua yang mampu mengantarkan anak-anaknya tamat sekolah setingkat SMA. (.wak Bandi adalah pengecualian.
Kalaupun setelah pensiun ia melaut lagi, bukanlah seperti dulu lagi memburu ikan dalam hitungan malam! Uwak Bandi pergi ke laut hanya untuk mengerat kejenuhan karena tak betah ongkang-ongkang-cuma makan tidur-di rumah. Ia pun tak sanggup lagi ke tengah laut, hanya menjala ikan di sekitar paloh-ra-wa laut Untuk itu pulalah, sampan bekas ia beli. Ya, hasil menjaring ikan setengah hari di paloh lumayanlah untuk mcngasapi mulutnya dengan rokok atau me-mawangi sakunya Untuk keperluan sehari-hari, dipasok dari hasil kedai lontong Dariah.
Namun, untuk memuluskan rencana naik haji. Uwak Bandi tak mungkin mengharapkan kedai lontong saja, punpaloh. Maka ketika mengetahui A-Siong, juragan arang menyewakan tanah bekas tambak. Uwak Bandi tergiur. Sejatinya, bengkalai tambak tersebut termasuk tanah yang sudah dijual A-Siong. Katanya mau ditimbun dan dibangun pabrik. Tetapi, menurut A-Siong, belum berlangsung timbang terima Berarti masih ada peluang untuk sekali panen tambak.
Nah, semua sudah ditimbang masak-masak. Uang sewa tambak seluas 45 rante, sekitar satu hektar, cuma satu juta Tambak seluas itu mampu mengasuh 5.000 bibit udang tiger. Dibutuhkan biaya hampir tiga juta untuk bibit tiger sebanyak itu. Intinya, tak ke mana uang lima juta demi meraup keuntungan setara ongkos naik haji. Bahkan bisa lebih.
Tentu Uwak Bandi paham, keuntungan ibarat lumba-lumba yang menyenangkan dan kerugian laksana hiu yang kejam. Rezeki harimau, kata orang-orang. Untung sekalian atau buntung sepenuhnya! Namun, Tuhan Maha Mengabulkan doa Keinginan ke Mekkah memberinya kekuatan untuk belasan hari mengorek bangkai tambak yang dangkal. Lumpur hasil korekan dionggok ke atas benteng tam-balcpagar tanah yang berfungsi sebagai pengepung air.
Lantas, paloh secara alami akan memasok air asin ke tambak. Melalui pengaturan pintu air, pasang surut paloh bakal menyegarkan tambak. Beres! Tapi tentu, selama tiga bulan, Uwak Bandi akan lebih banyak tinggal di tambak, terutama malam hari. Kalau tidak, maling tiger akan leluasa memburaikan isi tambak. Untuk menjaga tambak. Uwak Bandi tak perlu lagi mendirikan pondok di bahu tambak. Sudah ada Dinding tepasnya pun masih kuat Ia cuma perlu mengganti atap rumbianya
Serangga laut sesekali pamer suara! Tadi, sebelum istirahat di beranda pondok, Uwak Bandi masih sempat mengitari pematang benteng beberapa kali. Tak perlu menenteng senter karena bulan sedang ranum-ranumnya Langit malam cerah. Hujan sore
tadi telah menanggalkan daun-daun awan. Maka, cahaya keemasan bebas menyapu permukaan tambak pun menuntun mata dan langkah Uwak Bandi me-nyusuri punggung benteng.
Ia memang harus tetap awas. Selain maling tiger, masa 15 hari bulan-purnama masak-memaksa Uwak Bandi harus jeli mengeja air. Pasang besar sering terjadi pada 15 hari bulan, lak jarang pasang besar menyebe-rangkan udang ke luar tambak. Tapi Uwak Bandi boleh lega karena benteng sudah ditinggikan-nya dua hari lalu.
Dalam kewaspadaan. Uwak Bandi masih sempat menatap purnama di jantung langit Pan-tulannya jatuh persis di pusar tambak. Sambil memutari sisi tambak, ia membayangkan dirinya sedang tawaf, mengelilingi Kabah. Ta Allah, izinkan aku mencium bulan," zikirnya penuh geli. Aih. tak sampai sepekan lagi masa panen tiba. Entahlah, berbagai kemudahan memihak kepadanya. Bukankah kemudahan namanya ketika wabah penyakit tak menyerang tiger-tiger-piara-annya? Pun maling seperti enggan mengusik tambaknya
Mmh, kelana angannya begitu mudah menaklukkan Masjidil Haram. Tapi, udara dingin yang berbisa mengembalikan Uwak
Bandi ke tambak. Daun-daun bakau riuh disabling angin. Uap garam menyengat penciuman -nya. Ia membelitkan sarung ke lehernya Rokok disulut Sebelum ke pondok, ia pergi memastikan pintu air sudah terkunci. Selanjutnya, ya, Uwak Bandi bergegas menyalakan perapian dari potongan-potongan kayu waru. Ampuhlah untuk menghalau nyamuk, menawar dingin.
Lantas, ia duduk bersandar di beranda pondok. Uwak Bandi mendapatkan dadanya
sekonyong-konyong padang. Lapang. Diselimuti kehangatan api, ia kembali memandang bulan bak menyaksikan Kabah. He, Kabah 15 hari bulan, sejarahnya ke diri sendiri. Tempias angin me-ngatupkan kelopak matanya Wahai, Tanah Suci, aku datang, igau-nya Namun, saat kelelapan siap menyongsong, L;wak Bandi terperanjat oleh suara debum air. Ia kumpulkan kesadaran, lalu berlari ke ufuk suara. Air pasang memenuhi tambak, membobol benteng. Dinding tambak terluka!
Angin mcnyalak! Suara hewan malam siur! Uwak Bandi banting langkah ke pintu air. Ampun, pintu air jebol didongkel pasang. Ia kembali ke benteng yang terluka Sebab, tak ada faedahnya mengurusi pintu air yang roboh.
Sudah pasti lubang yang ber-semayam di luka benteng bakal mengirim isi tambak ke paloh, terus ke laut Uwak Bandi terperangah, terengah. Ia sibuk merajut siasat, kewalahan mencari akal. Debur air, sepadan ternak yang hambur keluar kandang, menciutkan nyalinya
Uwak Bandi berlari ke pondok, lalu kembali sambil menggendong setumpuk kayu waru. Dengan tubuh yang bergetar, ia tan-capkan kayu-kayu itu di mulut benteng yang jeboL Mana tahu mumpuni menghadang pasang yang hendak pergi ke alam. Tapi, apalah daya tancapan kayu di kumparan lumpur. Uwak Bandi menceburkan diri ke tambak. Ia jongkok, menyurukkan lengkung punggungnya ke liang benteng. Pinak-pinak air seperti jemari yang mencengkeram lehernya Tapi, ia tak peduli Sepasang tangannya terus mendorong-do-n mi; air agar pulang ke tambak. "Ayo, timpas! Surut kau air!" Uwak Bandi menghardik, tertata. Air bercampur lumpur menerobos mulutnya. Menyumbat kerongkongannya!
Tapi, air tak kunjung tim-pas-surut tak diturut Terkaman pasang malah makin buas, menciptakan lubang yang lebih besar. Tubuhnya tak mampu menjadi akar bakau penentang arus. Pa-
sang yang bergelicak deras nu iu berantakkan wujud purnama di permukaan air. Cahaya keemasan pecah, menjelma kilau kecemasan. "Kabahku! Hancur Ka-bahku!" Uwak Bandi meronta seperti kanak-kanak. Mencmpe-leng pipi air bertubi-tubi untuk apa? Toh. kerumunan tiger sebesar kuncup telapak tangan orang dewasa terus melintasi tubuhnya sebelum akhirnya dirampas paloh, ditelan alam.
Uwak Bandi kehabisan tenaga, kehilangan doa Tubuhnya dilumpuhkan air pasang. Kepalanya terdongak ke langit. EL mengapa dalam gontai kuyup pandangan, ia menyaksikan Haji Sazali melayang ke pekarangan langit, menuju bulan? Haji Sazali tersenyum sambil melambaikan tangan, semacam kibas ajakan. Uwak Bandi ingin menyahut lambaian itu. Tapi, bentang tangannya tengah berjuang menjadi benteng. Air menyandera Uwak H.niili Bahkan, memcrosokkan tubuhnya ke nganga lubang. Tenaga Uwak Bandi tinggal ampas. Tubuhnya timbul tenggelam, diisap diembuskan air pasang. Ah, adakah yang mampu mendengar gelepar tangisnya di perut air?
"Haji Sazali. tega nian kau me ninggalkanku..."
Medan. 2OO9