Back To Top

Wednesday, May 6, 2020

EKSPEKTASI TERLALU TINGGI AKAN MEMBUNUH KREATOR



Terpilih sebagai Sutradara Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2009, Aria Kusumadewa, 46 tahun, bersikap biasa saja. Bahkan ia menyaksikan kemenangannya itu dari layar televisi di sebuah warung Tegal. Film besutannya, Identitas, yang keluar sebagai Film Terbaik, pun dianggap paling tidak memuaskan dibanding tujuh karyanya yang lain. "Identitas terlalu menyuapi penonton," ujar Sutradara Terpuji Forum Film Bandung 2002 itu. "Karya yang baik, kalau tidak menyuapi penonton, memberikan wacana yang berbeda."

Selama ini, Aria dikenal sebagai sutradara di jalur film independen (indie) yang kerap mengangkat kehidupan kaum marginal, termasuk para pelacur, yang memang dekat dengan lingkungan dia nongkrong. Film-filmnya, seperti Novel Tanpa Huruf R, (2003) kerap mengundang hujatan sekaligus pujian. Aria justru senang.Rabu lalu, di Gelanggang Remaja Jakarta Timur, Jalan Otto Iskandardinata, Aria menerima wartawan Tempo, Ngarto Febru-ana dan Akbar Tri Kurniawan, serta fotografer Dwianto Wibowo untuk sebuah wawancara. Berikut ini petikannya.

Bagaimana proses kreatif pembuatan film Identitas ini?Saya enggak punya duit. Empat tahun tidak membuat apa-apa, saya bawa (skenario trilogi) ini ke beberapa produser, tapi tetap tidak ada yang mau. Temyata Deddy Mizwar yang memanggil. Tapi dia juga enggak mau sebuah film dengan pola bertutur modem ada tiga macam cerita di dalamnya.Karena produser banyak yang tidak mau, saya copotin cerita itu satu per satu. Yang mana dulu saya bikin. Saya kumpulin teman-teman komunitas yang sudah kaya. "Bantuan gue, deh. Aku mau bikin film ini tapi duitnya belum ada, dan ini untuk roadshow di kampus-kampus."

Ada satu produser di daerah Cempaka Putih (Jakarta Pusat), teman nongkrong saya (meminjamkan kamera). Cari pemain, aku panggil Tio Pakusadewo. Tapi gue bilang, kalau filmnya laku, baru gue bayar. Targetku juga bukan komersial. Eh, ter-nyata, begitu mulai syuting, Deddy Mizwar telepon, "Aria, lu bisa ke kantor?" Gue bilang, "Sori Ji (Pak Haji), lagi syuting, nih.". Jadilah dia datang ke lokasi. Kerjaan kita cukup serius. Seadanya, comot dari sana-sini. Deddy Mizwar rupanya kasihan lihat itu. Lama-lama Deddy nanya, "Coba lihat skenarionya." Lalu dibawa. Syuting sudah tiga hari, duitnya habis. Kayaknya berhenti nih syuting, duitnya cuma Rp 50 juta. Kru 40 orang, figurannya seabrek.Ya, udah kita berhenti, kalau ada duitnya, kita te-rusin.

Lama-lama aku berpikir, kenapa enggak ke Deddy Mizwar aja. Gue dateng. "Berapa lu perlu?" kata Deddy. Seratus lima puluh juta (rupiah). Tapi Deddy minta, sehabis bikin film, aku kerja sama dia. Aku setuju, aku bilang utang honor dululah. Setelah seminggu, duit mulai habis. Datang lagi ke Deddy Mizwar, utang lagi 100 juta (rupiah). Dikasih lagi. Dari situlah aku sudah memiliki kontrak hati sama Deddy. Dia satu-satunya produser di Indonesia yang percaya sama aku.

Deddy memberi masukan untuk film Anda?Enggak, sama sekali. Hanya satu pesan dia,"Filmnya pakai musik, ya, biar kelihatan film, biar bisa dijual."Lalu gue utang lagi ke dia. Dia ngomong,"Lu belum kerja sama gue, udah utangnya banyak.Ya, udahlah film lu gue beli aja. Nanti film iu gue transfer ke Kino Transfer 35 supaya bisa tayang di bioskop. Aku agak terganggu.Tapi akhirnya setuju, biarlah Deddy bawa (film) itu ke bioskop, tapi aku tetap roadshow ke kampus-kampus. Roadshow di delapan kota di Jawa dan sukses.

Apa yang istimewa dari film Identitas dibanding film Anda sebelumnya, Beth dan Novel Tanpa Huruf R" Aku merasa mundur. Ini personal banget, ya. Menurut saya, film Identitas terlalu menyuapi penonton. Menurut pandangan saya, karya yang baik, kalau tidak menyuapi penonton, memberikan wacana yang berbeda, ada dinamika. Misalkan film itu ditonton sepuluh penonton. Masing-masing penonton memiliki persepsi yang berbeda setelah menonton film. Berarti film tersebut telafl mampu memberikan wacana yang dinamis. Tapi, kalau sepuluh penonton itu persepsinya sama, film itu gagal.Film Novel Tanpa Huruf R, sepuluh yang menonton, ada sepuluh persepsi berbeda, ada yang menghujat, ada yang memuji.Dari segi kepuasan batin, mana yong puling memuaskan? Yang paling enggak puas, ya, ini (Identitas).Pesan apa yang Anda sampaikan lewat Identitas?

Sederhana, ini film pertanyaan. Saya ingin menyampaikan apakah identitas itu diperlukan dalam kehidupan. Kenyataan sehari-hari, identitas itu berbentuk legal formal, seperti KTP {kartu tanda penduduk), temyata dibutuhkan dalam kehidupan ini. Misalkan punya tanah tidak punya suratnya, disiU. Tidak ada KTP, dirazia. Orang mati tidak memiliki identitas, ia tak mendapat hak-hak kematiannya.Yang lebih luas lagi, identitas menurut dili kita pribadi bukan legal formal. Coba kita lucuti atribut kita masing-masing. Pada akhirnya, menurut pandangan seorang Aria, identitas itu adalah eksistensi hidup, bukan yang berbentuk KTP dan atribut lainnya. Tapi tidak memiliki atribut bisa mendapatkan gangguan.

Ide film ini Anda dapatkan saat ditangkap polisi kin imm tak memiliki KTP? Iya.Bagaimana Anda melakukan riset untuk Identitas"! Riset untuk film Identitas sangat kuat. Saya tongkwngin rumah sakit, melihat situasi dan peristiwa yang tidak masuk akal. Ada orang akan diamputasi, padahal dia sakit usus bantu. Ini beneran, ada di koran, saya kliping. Sejak tahun 2000 saya Wiping berita-berita kesehatan.Film-film Anda mengangkat persoalan kaum marginal....

Saya sudah akrab dengan kehidupan kaum marginal. Sejak SMP saya hidup di lingkungan itu. Saya tidak canggung mengangkat (kehidupan) kaum marginal. Saya sendiri sering nongkrong dengan pekcun-pekcun (pelacur) di Bulungan (Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan). Jadi saya tahu realitasnya. Ada yang sedang melacur tiba-tiba ibunya datang, marah-marah. Begitu dikasih uang 100 ribu, diam, langsung pulang. Itu sesuatu yang bagi mereka biasa tapi bagi kita luar biasa.Empat biliun tidak berkarya, apa kegiatan Anda?

Ya, itu kerjaannya, nongkrong. Kami sering mengadakan workshop. Kebetulan Lola Amaria bikin film Betina, mentornya saya. Mulai dari workshop sampai distribusi saya yang ngurusi.Pernahkah Anda berpikir film Anda masuk FFI? Belum pernah. Belum pernah satu pun filmku yang ikut FFI. Ada (yang ikut festival) di Belanda. Itu pun saya tidak pernah bicara ke media.Apa makna kemenangan ini bagi kalangan indie?

Untuk seorang kreator, ekspektasi membuat karya adalah membuat karya, bukan berorientasi pada festival. (Kalaupun) ekspektasi pada festival, ya, festival hanya sebuah pesta. FFI itu pesta. Ada orang bikin bikin pesta, makan-makan. Dalam makan-makan ada tanding panco, lalu ada yang dapat hadiah. Jadi menyikapi festival itu, ya, biasa-biasa saja. Enggak usah terlalu ideologis. Apalagi kalau ada seorang kreator menghujat, siapa pun yang menang dihujat. Ini akan menjadi iklim yang tidak sehat, akan menjadi efek domino di daerah.

Mengganggu mentalitas kalangan indie?Festival ini seolah-olah dianggap sesuatu yang ideologis. Aku ngomong begini bukan karena sudah menang. Aku sudah membuktikan aku enggak pernah ikut FFI. Masuk bioskop pun baru pertama kali dari tujuh film yang pernah aku buat. Aku tidak pernah berharap-harap. Awalnya Deddy Mizwar ngomong, "Ikut FFI, ya?" Aku jawab, "Enggak usah, Ji." Lalu jawaban dia menyentuh, "Yang mau senang lu doang apa, lu boleh enggak senang, tapi ada cameraman, editor, pemain lu, mereka pingin juga punya kebanggaan hidup."Ya, udah, ikut.

Waktu pengumuman nominasi di Batu (Javya Timur), aku diundang padahal aku sedang latihan dengan copet-copet di sini (Gelanggang Remaja Otista, Jakarta Timur). Dapat SMS, (film Identitas) masuk sembilan nominasi.Jujur saja, saya pribadi, melihat festival, apa pun itu, ya, itu sebuah festival. Kalau saya tidak bersikap seperti itu, saya bisa terganggu dengan karya-karya selanjutnya. Nanti ribut mau ikut festival ini-itu, malah bikin filmnya belum, tapi sudah mikirin festival. Lama-lama karya itu akan mengejar bentuk. Sebetulnya karya yang baik itu tidak mengejar bentuk, dia lahir bukan diciptakan.

Festival ini bisa menggairahkan Film indie?Kalau i mt nk film milir, saya berharap (bisa menggairahkan). Tapi, kalau saya pribadi, mau ada FFI atau tidak, saya tetap berkarya. Toh, saya sudah bikin .film tujuh biji, tidak pernah ikutan FFI.Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap itu, salah menyikapi kalah-menang, akan membunuh seorang kreator. Banyak contohnya, baru menang Piala Citra, besoknya kelakuannya sudah tidak keruan, setelah itu ambruk. Mungkin saran saya untuk kreator yang ribut-ribut ini, sikapilah festival itu sebagai sebuah pesta. Tidak usah menghujat juri, jurinya lalu menghujat penonton. Tanggung jawab seorang kreator adalah membuat film, mau ada festival atau tidak, tetap bikin film. Kalau filmnya banyak berkembang, festivalnya juga pasti akan berkembang.

Tahun 2009 ini kebangkitan film indie?Baru bergairah, karena di film indie harus terlibat beberapa elemen, termasuk pemerintah, lembaga-lembaga film yang dibiayai oleh BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional). Dari sini saya memiliki beberapa peluang dari BP2N yang diketuai oleh Deddy Mizwar. Saya ingin membuat worksliop besar di daerah Yogya, Semarang, keliling. Selama masih ada orang-orang yang memperhatikan film indie, ia akan maju; sekarang masih bergairah. Sama seperti di Hollywood, saat mereka kehabisan tema, semua film temanya hampir seragam, mereka melakukan riset ke bawah.

Selain itu?Dana. Bahwa workshop dan pendidikan yang mumpuni itu juga harus dilakukan di daerah. Di daerah itu banyak gagasan dan local genius. Tapi kadang mereka mau menyewa lampu saja, tidak kuat karena tidak kuat dananya. Lampu pun harus nyewa di Jakarta, tidak bisa di daerah.Saya berharap film Indonesia tidak seragam tema. Seperti pada 1980 ada banyak tema film, workshop berkembang, Gita Cinta dari SMA berkembang, film action-nya berkembang. Dulu kita sudah punya ekspektasi sebelum menonton, mau nonton film Cina di Jatinegara, mau nonton film India di Crivoli. Sekarang kan tidak seperti itu.

Apa penyebabnya?Salah persepsi yang terjadi di produser. Produser mengira penonton di Indonesia menyukai film yang seperti ini, padahal penonton itu di-/ait accompli. Mereka hanya disuguhi film jenis itu.Yang dianggap produser-produser asing yang ada di sini, penonton Indonesia itu tunggal. Senang dibodohi, padahal tidak. Publik itu tidak tunggal. Produser merasa penonton suka dengan itu (film-film hantu), padahal penonton tidak bodoh.
Kemenangan film Identitas ini akan berkontribusi pada kegairahan film indie di daerah?

Itu secara otomatis. Walaupun (saat pengumuman pemenang FFI) aku di warteg di luar Jakarta, semua telepon dan (pesan) Facebook penuh daii kawan-kawan indie di daerah. Semangat itu sudah pasti tumbuh daii mereka. Saya tidak mau semangat ini hilang, maka saya memiliki tanggung jawab plus dengan kemenangan ini.Untuk lebih menggairahkan film indie?Kalau film indie sudah bisa masuk ke film mainstream, dan pemilik modal sudah mendapatkan fa{ue-nya, saya yakin banyak yang akan berinvestasi di kelompok indie ini. Dengan Identitas menang, saya berharap para produser percaya kepada kelompok-kelompok indie dan membawa film ini ke film mainstream tanpa ada intervensi orisinali-tasnva.

Kalau sudah masuk mainstream, lalu apa bedanya?Nah, ini problemnya. Banyak orang salah memahami arti indie. Indie itu berarti suatu spirit. Bioskop atau kampus itu ruang presentasi. Saya menyebutnya indie itu independen. (Indie) adalah spirit kebebasan berpikir tanpa diintervensi oleh siapa pun. Selama sepuluh tahun saya di film indie, saya mempertahankan itu. Setiap saya melibatkan pada film mainstream, selalu ada intervensi pada gagasannya, dan saya tidak mau, saya tolak. Sehingga pada saat ada intervensi seseorang untuk menghancurkan kebebasan itu, ya jangan mau. Spirit itu sebetulnya yang harusnya ditransfer ke kawan-kawan indie

Spirit independen itu tidak ada kaitannya dengan nilai film tersebut komersial atau tidak. Saya memaknai sebuah independensi film adalah bagaimana film itu dibuat dengan spirit kebebasan berpikir.Bagaimana pandangan Anda tentang irim film indie Hollywood?Mereka bagus-bagus. Mereka juga komersial karena mereka punya bioskop. Di Amerika sangat banyak bioskop untuk film-film indie, di ruko-ruko yang itu ditonton 50-an orang. Di Eropa banyak, di sini enggak ada.Banyak anak-anak muda yang menggeluti film indie?Banyak. Hanya, secara teknis mereka kurang mumpuni, karena mereka belajar otodidaktik. Itulah tugas kami. Bagaimana mengajari mereka bahwa kamera itu tidak sekadar merekam sebuah peristiwa. Bahwa ngedit itu tidak sekadar menyambung dan memotong, tapi editing itu bagian dari menyusun peristiwa, struktur, dia seni, bukan teknis. Musik juga seperti itu. Dan saya optimistis.

Menurut Anda, masih perlu lembaga sensor?Untuk negara yang lagi kacau-balau seperti ini, masih perlu lembaga sensor. Bukan untuk saya lo, tapi untuk negara ini. Kalau aku tidak peduli, mau disensor atau tidak, bikin film terus. Tapi aku kritik, lembaga sensor tidak memiliki bargaining dalam kasus Buruan Cium Gue!. Saya buat film, saya berlindung pada lembaga sensor. Satu kelompok agama meributkan film itu, lalu ditarik kembali oleh lembaga sensor. Terus bagaimana kami bisa berlindung di balik lembaga ini. Artinya, kita bisa berlindung di balik dia, tapi parameter, ukuran-ukurannya, harus dibenahi.

Kriterianya seperti apa?Pertama, lembaga sensor tidak berhak memotong karya orang. Ia hanya berhak memberi rating umur. Lembaga sensor dengan gedung film harus bekerja sama. Kalau film itu untuk 17 tahun ke atas, penonton yang di bawah 17 tahun tidak boleh masuk. Kalau di sini tidak peduli, kan. Di luar negeri, pelayan bar saja ikut bertanggung jawab. Anak di bawah 17 tahun tidak membawa KTP tidak boleh masuk bar.Maka lembaga sensor dengan pemilik bioskop harus berada di depan pintu, memastikan bahwa penonton sesuai dengan rating usia yang ditentukan.Ada rencana bikin film lagi? Menyelesaikan trilogi sampai 2010.