Saya Akan Terus Berteriak
ilustrasi opinion |
Tulisannya kritis dan tajam. Mungkin ada pihak yang tersinggung. Namun, contoh-contoh di lapangan serta data-data yang dipaparkan dalam tulisan itu sulit dibantah. Begitulah dr Kartono Mohamad (70) menulis.Bukan akhir-akhir ini saja aktif menulis. Dokter kelahiran Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939, ini sudah menulis untuk Kompas sejak tahun 1972. Tidak kurang dari 234 tulisannya dimuat di Harian Kompas.
Isi tulisannya terutama menyangkut persoalan kesehatan dalam arti luas. Selain persoalan kebijakan dan pelayanan kesehatan, sering diulas juga persoalan medis, obat- obatan, profesi dokter, etika kedokteran, dan layanan rumah sakit Kartono mampu menjelaskan kepada pembaca duduk persoalan dari suatu peristiwa secara jernih. Persoalan yang rumit bisa dipaparkan secara sederhana sehingga mudah dimengerti pembaca. Begitulah Kartono.
Cita-citanya sejak awal memang ingin meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara menyeluruh. "Menulis sangat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap persoalan-persoalan kesehatan," kata Kartono.
Bukan cuma menulis artikel di media massa, Kartono juga menulis sejumlah buku kesehatan, termasuk aspek hukum dan etika profesi kedokteran. Dokter lulusan Universitas Indonesia 1964 ini juga sempat praktik melayani kesehatan masyarakat. Selain itu, ia juga mengajar Etika di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta (1992-1996) serta menjadi Redaksi Pelaksana Majalah Ilmu Bedah Ropa-nasuri, dan Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Medika.
Dokter yang pernah berdinas di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir mayor ini juga aktif di berbagai organisasi, termasuk sempat menjadi Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) 1985-1988. "Melalui organisasi, lebih mudah memperjuang-kan cita-cita di bidang kesehatan," kata Kartono.
Cita-citanya yang ingin dicapai di bidang kesehatan antara lain pemerintah memberikan perlindungan kepada warga negara sejak dalam kandungan hingga orangtua (healthy people in every stage of life) serta memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat di mana pun dia berada (healthy people in healthy places), seperti yang juga diperjuangkan Pemerintah Amerika Serikat.
Memperkuat IDI
Salah satu pencapaian bidang kesehatan yang diraih Kartono adalah membenahi organisasi Ikatan Dokter Indonesia GDI) ketika dia menjadi Ketua Pengurus Besar (PB) IDI 1985-1988. Di bawah kepemimpinannya, struktur organisasi IDI diperkuat sehingga tidak sebatas perkumpulan yang dikelola secara bergantian.
Di IDI, misalnya, atas gagasannya dibentuk Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Majelis ini anggotanya terdiri atas dokter-dokter dari berbagai angkatan, berlatar belakang berbagai agama, budaya, etnis, dan latar belakang keahlian. Majelis ini secara struktural tidak di bawah Ketua PB IDI, tetapi di bawah Kongres. "Karena itu, keputusannya bisa obyektif dan bahkan bisa menegur atau menindak tegas ketua umum organisasi bila terbukti melanggar disiplin kedokteran," kata peraih penghargaan Satya Lancana Satya Dharma (1962) dan Satya Lancana Pe-negah (1970) ini.
Selain meletakkan tonggak awal upaya menegakkan etika kedokteran, Kartono juga menggagas pendirian Badan Pembelaan Anggota PB IDI. "Setiap dokter yang tengah menghadapi masalah terkait etika kedokteran akan mendapat pendampingan hingga dokter bersangkutan mendapat putusan apakah melanggar etika atau tidak secara adil dan obyektif," ujarnya.
Adapun untuk melindungi kepentingan pasien, ia dan jajaran pengurus IDI membuat lembaga pengaduan.
Hampir setiap surat keluhan dari masyarakat yang masuk ke PB IDI dijawab sendiri oleh Kartono. "Sebagian besar kasus yang diadukan adalah soal komunikasi. Masalah komunikasi antara dokter dan pasien memang masih ha-rus terus ditingkatkan. Namun, bila ada dugaan pelanggaran etika kedokteran, saya akan mengajukan ke MKEK untuk diproses lebih lanjut," ujarnya.
Tidak telah
Di usia senja, semangatnya untuk memperjuangkan keadilan dan perba-. ikan bidang kesehatan terus membara. Kini ia menjadi penasihat di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKB!), pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, pengurus Yayasan AIDS, aktif dalam Koalisi untuk Indonesia Sehat dan Gerakan Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan, pengurus Bina Antar Budaya, tergabung dalam Forum Peduli Kesehatan Rakyat, serta aktivitas sosial lainnya.
Kartono juga ikut aktif dalam penyusunan Revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tahun 2001-2004. Namun, hingga kini revisi RUT. itu belum juga kelar. "Kadang frustrasi juga melihat perjuangan yang tak juga menampakkan hasil, banyak masalah kesehatan di Indonesia yang tidak tertangani dengan baik," kata Kartono. "Namun, saya tidak lelah, saya akan terus berteriak...," tambah Kartono di rumahnya yang asri di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dari sekian banyak persoalan kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia, menurut Kartono, kunci persoalannya adalah tidak jelasnya arah pembangunan kesehatan Indonesia. "Pembangunan bidang kesehatan tidak pernah dianggap sebagai investasi untuk membangun kualitas sumber daya manusia," kata Kartono.
Pemerintah menginginkan kualitas pendidikan meningkat, tetapi tidak disertai dengan pembangunan kesehatan masyarakat. " Kualitas pendidikan yang bagus akan sulit tercapai jika peserta didiknya kurang darah, kurang gizi,congekan, cacingan, dan menderita berbagai penyakit lain," ujarnya.
Karena itu, tantangan bidang kesehatan ke depan adalah negara harus melaksanakan pembangunan kesehatan yang memprioritaskan upaya preventif atau pencegahan penyakit, bukan malah memfokuskan diri pada upaya kuratif dengan memperbanyak pendirian rumah sakit
Kartono juga mengkritik tidak adanya lembaga pengawas yang mengoreksi kalau adalah kesalahan dalam pelayanan kesehatan. "Pemerintah
yang seharusnya bertindak sebagai regulator dan wasit pun ikut bermain. Banyak rumah sakit milik pemerintah yang malah bersaing dengan rumah sakit swasta," ujarnya.
Dalam hal harga obat, Kartono menilai pemerintah dengan sengaja menyerahkan kepada pasar. Tidak ada pengendalian jumlah obat, pembatasan jumlah merek obat, dan jumlah pabrik obat Tidak ada pertimbangan apakah perlu ada kekhususan dalam produksi obat tertentu dan membatasi jumlahnya. "Jadi harga obat dan pemilihan obat diserahkan sepenuhnya kepada pasar," ujarnya.
Menyangkut jalan hidupnya. Kartono semula bercita-cita menjadi insinyur. Melelang masuk perguruantinggi, ibunya menyarankan agar Kartono kuliah di Jakarta sehingga bisa dekat dengan kakaknya. Jadilah Kartono kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kuliah belum lulus, Kartono masuk ikatan dinas TNI-AL, sehingga setelah lulus kuliah menjadi dokter di TNI AL (1964-1975) hingga berpangkat Mayor.
Saat bertugas di Angkatan Laut (1964-1975) itulah, Kartono menerbitkan majalah kedokteran dan aktif menulis berbagai persoalan kesehatan untuk membangun komunikasi di kalangan sesama dokter serta menggugah semangat pengabdian para dokter. Semangat pengabdian itu, hingga kini masih berkobar di dada Kartono Mohamad.