Back To Top

Wednesday, December 11, 2019

Sekolah Kearifan Lokal Kampung Sikep

ilustrasi sekolah


Siswi SMA Negeri 1 Jember, Jawa Timur, Roro Pujiwati, mengaku kagum dengan remaja Komunitas Sedulur Sikep di Dukuh Mbalong, Desa Sumber, Kecamatan Kradenan. Kabupaten Blora. Meski tidak mendapatkan pendidikan formal yang tinggi, mereka sangat sopan dan menghargai persaudaraan.

"Sesepuh Sedulur Sikep Dukuh Mbalong Mbah Kasbi memberitahu saya bahwa anak-anak Sedulur Sikep tidak sekolah. Kalaupun sekolah, paling-paling hanya cukup bisa membaca dan menulis," kata Roro di sela-sela Jelajah Budaya Regional 2009 di Dukuh Mbalong, Selasa (23/6).

Jelajah Budaya Regional tersebut diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Pesertanya adalah siswaSMAdari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Tujuannya, untuk menggali adat istiadat dan ajaran moral Sedulur Sikep.

Dukuh Mbalong merupakan salah satu tempat tinggal masyarakat keturunan dan pengikut Samin Surontiko. Selain Mbalong, komunitas yang kerap disebut Se-dulurSikep itu tersebar di sejum-lah daerah di Blora, Pati, Kudus, Rembang, serta Bojonegoro dan Ngawi di Jawa Timur.

Di Dukuh Mbalong, komunitas Sedulur Sikep hidup berdampingan dengan masyarakat pada umumnya. Sama dengan warga lainnya di dukuh itu, hidup keluarga Sedulur Sikep bergantung pada hasil pertanian dan ternak.

Meskipun begitu, mereka tetap mempertahankan adat-istiadat dan kearifan lokal ajaran Samin Surontiko atau Raden Kohar. Sejumlah kearifan lokal terejawan-tahkan dalam pernikahan, pendidikan, relasi, dan pekerjaan.

Ajaran turun-temurun


Ketua RT lingkungan Komunitas SedulurSikep.Widji, mengatakan, Sedulur Sikep mengenal ajaran "rembug sepisan kanggo saklawase" dalam pernikahan. Artinya, seorang lelaki mendapatkan satu istri saja untuk seumur hidup.

"Bahkan untuk menjadi seorang suami yang berkualitas, calon suami harus ngengeratzu bekerja di rumah dan sawah calon mertua," kata dia.

Menurut Widji, kualitas seorang suami atau istri tersebut


bergantung pada pendidikan orangtua. Semenjak kecil, anak-anak dididik agar tidak drengki (memfitnah), sre/(serakah),pa-nesten (membenci sesama), da-wen (menuduh tanpa bukti), ke-meren (iri hati), dan aja kutil jumputbedhognyolongQangan suka mengambil atau mencuri milik orang lain).

Dengan ajaran yangditurunkan terus-menerus itu, komunitas Sedulur Sikep selalu menganggap dan memperlakukan orang lain,bahkan yang belum dikenal, sebagai Sedulur atau saudara. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka nguwongke uwongatan menghargai manusia sebagai manusia.

"Mereka juga menghargai alam, terutama tanah dan air, yang memberi mereka sandang dan pangan," kata Widji.

Pakar folklor atauceritadan tradisi rakyat, Profesor Ayu Sutarto, merefleksikan Sedulur Sikep sebagai komunitas nanduratau menanam. Di satu sisi mereka me-nanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan sandang dan papan, di sisi lain mereka menanam kebajikan atau kearifan lokal kepada generasi penerus.

"Pendidikan moral yang sangat mengakar atau mulrimental semacam itulah yang saat ini terlupakan, baik oleh perorangan, kelompok, maupun negara. Yang mencolok sekarang ini adalah antusiasme memperjuangkan kepentingan sendiri-sendiri," kata Sutarto. (HENDRIYOWIDD