Menulis dan Belajar Sepanjang Hayat
"SIAPAPUN bisa jadi penulis Menulis tidak perlu bakat. Ain. jbih tepatnya, bakal dapat ciu ipUik.in sesuai situasi dan kondisi Kita hanya perlu berlatih dan berproses terus menerus dengan keberanian dan kerja keras untuk sukses".
Petikan paragrap di alas diambil dari bab Momentum Perubahan milik seorang anak kecil bern;mu Muhammad Izza Ahsin Sidqi Halaman ke 51 dari buku Dimin Tanpa Sekolah yang juga mengupa.-. habis teniang perjuangannya menjadi penulis, hingga meninggalkan dunia sekolah.
Buku yang ditelurkan oleh Izza -yang baru berusia 15 tahun, ini tergolong luar biasa. Membentuk cwmbaran dirinya sebagai remaja lailikal, aneh dan langka, punya pola pikir cemerlang, pengetahuan umum yang luas, besarnya keper-j.iy.ian diri, tekad dan mental baja.serta kemampuan menulis yang konstan.
Izza punya kehebatan merangkai kata dalam menuangkan pikiran dan mengaitkannya dengan pengetahuan umum yang ia ketahui. Sungguh menakjubkan, untuk anak seumur dia yang sudah terbuai dengan berbagai pengetahuan tentang agama hingga fisika relativitas Einstein.
Ia juga mengenal sejarah sastra-wan-sastrawan terkenal seperti Mark Twain, Rabindranaih Tagore ilan Bernard Shaw. Mengupas arti pendidikan yang sebenarnya melalui buku Sekolah Para Juara, Quantum Teaching and Learning, Delapan Kecerdasan dan Humanisasi Pendidikan Paulo Freire.
Tidak berhenti di situ, Izza juga mampu memakai nama-nama Michael Faraday (tokoh revolusi kelistrikan), James watt (revolusi industri), John Dalton (ahli kimia), F.J Saunders dan Abe Lincoln sebagai referensi tulisannya.
Masuk ke dalam kisah hidupnya, pemaparan cerita yang dipakai dalam buku ini dibuat dengan bentuk biografi. Dimulai dari cerita senang dan sedih sewaktu mencicipi bangku sekolah. Izza sudah merasa tidak betah sejak pertama kali merasakan pendidikan yang konvensional, karena bertolak belakang dengan prinsipnya, belajar sepanjang hayat tanpa dibatasi kurikulum sekolah.
Ia yang yang memiliki kreativitas berlebih dan meledak-ledak akhirnya menyalurkan ke tempat lain selain sekolah yang dianggap membosankan. Di waktu SMP, ia membuat kliping yang tebalnya 200 halaman teniang Olimpiade Yunani 2004 hingga akhirnya menemukan pelabuhan yang cocok dan membuatnya terkenal. Menjadi penulis.
Pikirannya digambarkan berca-bang-cabang seperti pohon dan semakin kompleks. Hasratnya hanya bisa terpenuhi bila diwujudkandengan menulis novel sampai beberapa seri tebal. Hingga, akhirnya ia memutuskan mendalami dunia tulis menulis, percaya pada kekuatan fokus dan berniat melupakan sekolah serta pendidikan formal.
Kisah selanjutnya menggambarkan bagaimana Izza berjuang di bawah paksaan orang tuanya, pihak sekolah dan keluarga untuk meneruskan pendidikan formal. Perasaan terpaksa yang menyiksa, idealisme yang sempat tergoda bercampur dengan emosi yang meletup-letup. Mampukah Izza mengatasi itu semua dan memfokuskan diri menjadi penulis?
Bagaimana dengan sekolahnya? Mampukah ia keluar sepenuhnya dari kerangka pendidikan formal yang membelcnggu? Ikuti saja bukunya sampai akhir, yang pasti, banyak hal yang bisa diambil sebagai pengetahuan, terutama bagi mereka yang ingin mengejar impian dan belajar sepanjang hayat.**