Back To Top

Monday, December 30, 2019

Festival Multikulturalisme di Yogyakarta



Oleh ZU LY QO D I R

Festival Kesenian Yogyakarta XXI yang tengah berlangsung sebagai momen kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat menarik, sekaligus memberikan ruang pada pelbagai ragam kebudayaan di Yogyakarta Oleh sebab itu, FKYyang sudah mentradisi sebaiknya memang terus diselenggarakan dan dijaga orisinalitasnya


Pertanyaannya, bagaimana agar FKYyang sudah mentradisi menjadi bagian dari promosi multikulturalisme di Yogyakarta, sehingga budaya dominan dalam kultur Yogyakarta tidak tampak, tetapi saling melengkapi, seperti prinsip multikulturalisme saling menjaga. Merayakan keragaman budaya menjadi penting untuk di -pertahankan (diuri-uri), sehingga kekhasan Yogyakarta tampak semakin jelas, tidak kabur karena in-volusi kebudayaan populer yang terus menerjang Yogyakarta dan seantero Nusantara.

Pementasan pelbagai macam kultur lokal Yogyakarta adalah khas FKY. Hal ini menarik, oleh karena itulah sebenarnya arena yang banyak ditunuun publik Yogyakarta untuk melihat bagaimana kekhasan dan karakteristik budaya Yogyakarta muncul. Namun, kekhasan karakteristik budaya Yogyakarta akan tampak luntur ketika terjadi dominasi budaya yang dipentaskan dalam FKY.

Selama ini memang belum terjadi. Akan tetapi, jika kita tidak berhati-hati akan sering terjadi kultur dominatif, maka lambat tetapi pasti kultur Yogyakarta yang egaliter, ramah, dan santun akan tergerus dengan kultur urban yang kadang kurang ramah, penuh intrik, dan cenderung dominatif. Budaya seperti ini jelas akan mengurangi daya pikat FKY yang su-dah menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta.

Jelas kiranya, kultur dominatif yang sering kali muncul dalam tradisi transkultural dan budaya populer harus dicegah agar kultur egaliter FKY terus berlangsung. Sebab, di sinilah sebenarnya FKY sampai saat ini terus menarik untuk diikuti dan dinikmati. Akan tetapi, bila kultur egaliter FKY hilang, maka kritik dari para seni-man.budayawan, bahkan akademisi tentang penyelenggaraan FKY akan terus bergelombang sehingga FKY sebagai arena pentas keragaman budaya menjadi hilang tak tahu ke mana rimbanya.

Ada persoalan yang harus diperhatikan serius agar kultur dominan dalam FKY tidak muncul. Hal tersebut, antara lain menghilangkan egoisme dari beberapa daerah Yogyakarta yang ingin tampil dalam panggung FKY. Selain itu, tentu saja pihak penyelenggara FKY harus mampu mengakomodasi kepentingan masing-masing daerah agar dapat menjadi representasi dari kultur yang ada di Yogyakarta.

Dua hal di atas akan sangat membantu agar FKY tidak menjadi bagian dari kultur dominan di Yogyakarta. Sebab, jika FKY sebagai arena keragaman budaya telah kerasukan budaya dominan, dari mana lagi masyarakat Yogyakarta akan menikmati keragaman buda-ya yang selama ini menjadi kebanggaannya. Mati suri kebudayaan Yogya pun tinggal menanti.

SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di Yogyakarta memang tidak tampak menjadi penghalang untuk hidup saling berdampingan. Akan tetapi, jangan berbangga hati dahulu sebab dalam beberapa tahun terakhir tampaknya ada keinginan dari sekelompok masyarakat yang hendak mengunggulkan unsur agamanya di Yogyakarta. Hal ini tentu saja mengecewakan kultur toleran dan egaliter masyarakat Yogyakarta


Merayakan keragaman


Apa yang menjadi harapan masyarakat Yogyakarta sebenarnya tidak dem ikian muluk. Sederhana saja, yakni bagaimana masyarakat dimengerti untuk tidak saling menegasikan, tetapi selalu saling mendukungeksistensi. Masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang senantiasa mencoba menjunjung tinggi keragaman, toleransi, dan kerja sama. Ini yang menjadi titik terkuat mengapa Yogyakarta menjadi bagian cagar budaya yang sangat diminati banyak pihak.

Dengan dasar yang demikian, ketika terjadi kekerasan yang sifatnya seketika, yang melibatkan agama tertentu, masyarakat Yogyakarta tidak cenderung terlibat menjadi bagian dari kekerasan agama. Inilah daya dukungyang sebenarnya menjadi social capital Yogyakarta untuk terus menjadi masyarakat yang toleran dan menjaga multikul tur secara memadai.

Kekerasan yang berdimensi politik menjelang dan pascapemilu, seperti konflik kekerasan yang melibatkan aktivis partai politik, masyarakat luas pun tidak terlibatjauh dalam konflik kekerasan politik yangterjadi. Di sini pula yang menjadi sumbu penjaga (buffer zone) atas munculnya kekerasan-kekerasan politik yang terjadi di daerah lain. Yogyakarta sekali lagi menunjukkan sebagai masyarakat yang tidak gampang terprovokasi oleh sentimen-sentimen rasial yang terus menjadi bagian dari konflik kekerasan di beberapa belahan Nusantara.

Jika harapan masyarakat Yogyakarta untuk terus menjunj ung dan menyelamatkan toleransi, keragaman, prinsip egaliter, dan tanpa kekerasan berlangsung terus, apa yang menjadi misi besar bangsa ini untuk mewujudkan adanya kendu-ri bersama dalam multikulturalisme akan menjadi kenyataan.

Namun, ketika ada pihak-pihak yang merasa paling berperan dan paling berhak sehingga ingin senantiasa mendominasi atas yang lain, maka harapan adanya perayaan (kenduri) atas multikulturalisme semakin dipertanyakan. Sekalipun dalam sebuah akulturasi budaya akan terjadi titik simpang budaya, merupakan suatu yang nyaris tidak bisa diabaikan tetapi merumuskan agar tetap tidak do-minatifbisa dipertimbangkan.

Bagaimana agar masyarakat menuju bangunan multikulturalisme, tidak lain kecuali antarsesama warga masyarakat tidak menobatkan diri sebagai masyarakat yang memiliki kultur paling hebat, paling berhak, dan mumpuni. Prinsip Chauvinism karena itu tidak menjadi pijakan dalam membangun masyarakat yang berkeinginan menjadi multikultural.

ZULYQODIR

Pendidik di Sekolah


Pascasarjana Universitas


Gadjah Mada, Yogyakarta